NEGERI TANPA SENYUM


Cerpen Arswendo Wirawan.
Dimuat di harian Solopos Minggu, 20 Desember 2009

Sekilas, wajah – wajah ini tidak berbeda dengan wajah – wajah lain. Bentuknya yang beberapa lonjong, beberapa persegi dan beberapa bulat. Sebagian beralis tebal dan sebagian lagi tipis. Ada yang berkumis, yang berjenggot pun ada. Beberapa berpipi tembem dan beberapa berpipi kempot. Mata besar, mata sipit, mata biru, dan mata hitam. Sebagian memiliki hidung pesek, sebagian lagi mancung, serta beberapa bulat. Mulut – mulut mereka pun tidak berbeda dengan manusia lain di dunia ini. Ada yang berbibir tebal, ada juga yang tipis, ada yang tebal di atas, ada yang tebal di bawah. Sama sekali tidak ada perbedaan – perbedaan yang berarti.
Namun, ketika kemudian aku mendekat dan bercengkerama dengan mereka, baru kusadari, wajah – wajah ini memang berbeda. Wajah – wajah ini begitu kuat karakternya. Biasanya, orang – orang dengan wajah seperti ini memiliki karakter yang khas. Jika dia periang, maka wajahnya terlihat ceria dan membuat orang lain merasakan keriaan yang dia rasakan. Orang yang selalu menangis, entah karena bahagia atau sedih, memiliki wajah yang sendu dengan kelopak mata yang hampir menutupi mata. Jika seseorang itu pemarah, maka wajah – wajah seperti inilah yang akan kita temui, garang, tidak ramah, menatap dengan tajam, bibir terkatup rapat, geraham atas dan bawah saling menggigit – gigit sehingga dari luar terlihat tonjolan otot – otot pipi, mempertegas sifat orang tersebut.
Terus terang, melihat wajah – wajah seperti ini selalu membuatku begidik, apalagi jika harus berurusan dengan mereka. Bagiku, wajah – wajah seperti ini akan selalu siap membunuhku dengan sadis dan tanpa ampun, namun dilakukan dengan tenang, sehingga seolah – olah tidak ada penyesalan atas apa yang baru saja dilakukan, lalu meninggalkanku begitu saja di semak – semak kehabisan darah.
Namun ternyata aku salah. Orang – orang ini tidak segarang yang kubayangkan, mereka tidak sekejam yang kutakutkan. Justru sebaliknya, mereka orang – orang yang ramah, baik, dan selalu menyambut tamu – tamu mereka dengan hangat. Seperti yang kualami ini, dalam perjalanan panjangku berkelana, aku harus singgah di negeri orang – orang berwajah seram ini untuk beristirahat. Secangkir kopi panas dan beberapa potong gorengan di warung tegal menambah kehangatan yang mereka ciptakan. Awalnya aku heran dengan apa yang kulihat, karena ini benar – benar pertama kali aku alami, sesuatu yang absurd dan khayali, sesuatu yang tidak masuk akal, namun nyata terjadi di depan mata. Bukan sihir bukan sulap, bukan mimpi bukan khayalan.
Wajah – wajah ini tersenyum, namun tidak seperti biasanya orang tersenyum. Wajah – wajah ini tertawa, namun mulut mereka tidak selayaknya orang tertawa. Memang terdengar suara mereka sedang tertawa, namun ekspresi mereka tidak sewajarnya orang yang sedang tertawa. Bagaimana mungkin ini terjadi ?. Aku ingin ikut tertawa tentang gurauan – gurauan yang mereka lontarkan, namun aku tidak bisa. Aku masih merasa aneh dengan apa yang kulihat.
Rupanya reaksiku itu membuat mereka berhenti tertawa. Timbul suasana canggung yang tidak nyaman. Aku merasa tidak enak, seharusnya aku ikut tertawa atas gurauan mereka tadi.
“Saya minta maaf bapak – bapak…..”, ucapku kemudian.
“Tidak perlu minta maaf nak, ini sudah sering terjadi. Ketika para perantau mampir beristirahat dalam perjalanan mereka, mereka selalu menunjukkan wajah aneh di depan kami, layaknya kami ini orang – orang aneh. Yah, memang kami aneh, tapi inilah kami. Kami tidak tahu apakah ini kutukan. Yang kami tahu Tuhan tidak pernah menciptakan makhluknya dengan sia – sia, pasti ada penjelasan mengapa Tuhan menciptakan kami seperti ini”.
“Maaf, apakah orang tua serta kakek dan nenek bapak juga seperti ini ?. Emm…maksud saya…”.
“Ya…”, ucapanku terpotong. “Semenjak dikenal peradaban manusia, kami memang seperti ini. Turun – temurun kami tidak pernah keluar dari negeri ini, karena kami pasti akan jadi bahan guyonan dan ejekan. Kami tidak menyesali keadaan kami. Kami tidak kecewa karena tidak leluasa bergaul dengan dunia luar”.
“Kalau saya boleh tahu, adakah cerita dari orang tua bapak – bapak sekalian, yang menyebutkan penyebab keadaan ini ?”, tanyaku lagi.
“Ya, memang ada penyebabnya. Konon, negeri kami dahulu kala adalah negeri yang sejahtera, penduduknya selalu bahagia, hidup tenteram, saling mencintai satu sama lain dan tidak ada kekurangan sesuatu apapun. Namun tak disangka – sangka, kebahagiaan itu rupanya menyimpan bom waktu tersembunyi yang tidak bisa dijinakkan lagi. Kebahagiaan itu telah dikotori ulah orang – orang penting yang seharusnya melindungi mereka, menyediakan keadilan bagi mereka, dan menjadi pengemban amanat mereka. Rakyat menyimpan kekecewaan yang teramat besar atas tindak penyelewengan dan kecurangan yang dilakukan orang – orang penting itu. Harapan besar yang disandarkan ternyata tidak dijaga sebagaimana mestinya. Menelikung hak rakyat, bermain mata dengan orang – orang berduit, dan yang terparah, bermain Kethoprak dengan lakon “Gĕgĕr Cicak lan Boyo”, sebuah usaha saling meniadakan demi tujuan yang mencurigakan, sementara “Sang Sutradara” tertawa ngakak menyaksikan itu semua, dari negeri ‘Entah Dimana’.
Dan terjadi percobaan intimidasi terhadap suara massa, sebuah wawancara omong kosong yang sepertinya hanya bertujuan mengolok – olok, dan tidak mengandung esensi apapun. Reaksi yang tidak sigap terhadap permasalahan – permasalahan itu menambah kekecewaan rakyat. Penyelewengan dan penyalahgunaan yang semakin sering terjadi dan membukit, telah menguras habis kesabaran rakyat, dan akhirnya tidak bisa tertahan lagi. Satu per satu muncul aksi – aksi ketidakpuasan, terjadi konflik di mana – mana, perang saudara semakin meluas, nyawa – nyawa dihabisi, darah – darah berceceran, kekerasan digunakan sebagai sarana legalitas mengekspresikan perasaan yang terpasung. Tidak peduli anak tidak peduli bapak, jika hati menjadi lega maka membunuh adalah hak asasi. Perbedaan pendapat berarti musuh, dan musuh harus dipenggal. Kebakaran, bom, desing mesiu, dan pedang beradu, sudah menjadi sarapan pagi.
Intinya, negeri kami ini benar – benar berkabung. Bapak mati, ibu mati, anak mati, saudara mati. Yang tersisa hanyalah air mata, duka dan kesedihan. Kabarnya, keadaan ini berlangsung hampir selama – lamanya, tahun berganti tahun, abad berganti abad. Tidak pernah lagi terdengar tawa bahagia, tidak pernah lagi terlihat senyum gembira, tidak ada lagi dendang ceria, tidak ada lagi puisi cinta. Yang ada hanya wajah – wajah seperti kami ini. Mereka tidak peduli apakah matahari sedang terbit atau tenggelam, mereka tidak peduli hujan sedang turun, bulan sedang purnama, bintang kerlap – kerlip, pelangi sedang melengkung. Begitu nelangsanya jiwa mereka sehingga tidak mampu merasakan keindahan – keindahan yang masih muncul di negeri yang merintih ini. Hingga keadaan negeri yang semakin membaik pun tidak bisa menghapus duka yang telah terpatri itu. Barangkali kenangan kelabu itu tidak akan pernah terkelupas, mendarah daging, hingga terwarisi pada generasi – generasi di bawah mereka, termasuk kami sekarang ini”, sang bapak menjelaskan.
“Tapi bapak, bukankah masa itu telah terlalu lama berlalu, beratus – ratus tahun yang lalu, negeri bapak ini pun saya lihat sekarang sangat subur dan makmur, kehidupan di kota juga semarak dan meriah, bahkan saya mendengar musik ceria di pintu gerbang negeri ini……”.
“Yah memang benar, walaupun kami tidak pernah merasakan kepedihan masa lalu itu, tapi keadaan kami ini seolah – olah menjadi gen turun – temurun, agar kami selalu teringat penderitaan yang nenek moyang kami pernah alami dulu, masa – masa kelam negeri ini. Kami berharap hal seperti ini tidak terjadi lagi di negeri kami ini”.
Kini aku mengerti, penderitaan para leluhurlah yang menyebabkan keadaan ini. Tentunya terlintas di benak mereka, seandainya peristiwa masa lalu itu tidak pernah terjadi. Seandainya orang – orang penting itu tidak melakukan perbuatan – perbuatan itu, sehingga membuat perjalanan sejarah menjadi seperti ini ?. Atau mereka tidak perlu menyalahkan nenek moyang, namun sebaliknya, mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita masa lalu itu ?.

Selesai
Semarang, 19 November 2009

SEBERKAS CAHAYA PAGI


Cerpen Arswendo Wirawan
Pemenang Favorit Lomba Menulis Cerpen Remaja Rohto 2009

Heru tergeletak lemas di sebuah Instalasi Gawat Darurat. Matanya terpejam, selang infus menjulur di tubuhnya. Detak jantungnya tidak teratur, kadang ada namun lemah, dan terkadang hilang beberapa saat. Sang ibu dengan setia mendampingi di samping ranjang, meratapi nasib Heru yang malang. Tak berhenti dia membaca doa – doa serta Surat Yasin, berharap kesadaran Heru segera kembali. Namun di sela – sela lafal doa, terdengar isak tangis ibu Heru yang terdengar begitu menyayat. Berkali – kali dia menciumi kening Heru dengan penuh kasih sayang. Sang ayah mencoba menghibur, memberikan pengertian supaya istrinya bersabar dan tabah.
Kemudian dokter yang merawat Heru datang memeriksa perkembangan kondisi Heru. Dia memeriksa denyut nadi, mata, serta luka memar yang melingkar di leher Heru. Ekspresi wajah dokter menunjukkan seribu satu makna. Dia tidak tersenyum dan juga tidak menunjukkan tanda – tanda khawatir. Mengangguk – angguk namun terkadang juga menggeleng – geleng.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok ?”, tanya sang ayah.
“Denyut nadinya membaik, namun belum bisa menunjukkan adanya perkembangan kesadaran. Nanti malam saya akan memeriksanya lagi, bapak dan ibu saya harap tidak berhenti berharap”.
***
“Bu, Heru berangkat dulu”, pamit Heru dengan wajah muram, beberapa hari yang lalu. Sang ibu sangat mengerti ekspresi wajah Heru yang seperti itu. Penyebabnya sama seperti bulan – bulan yang lalu. Heru merasa malu karena sudah lebih lima bulan belum membayar SPP. Teman – teman di sekolah selalu menyindir dan mengejeknya, menyebutnya anak teladan, yang maksudnya adalah ‘contoh sukses siswa yang menunggak SPP’. Heru memang anak pintar dan berprestasi, namun di lain sisi Heru pun terancam tidak bisa melanjutkan sekolah karena menunggak SPP.
Begitu pun kali ini, teman – teman mengejeknya lagi ketika Bapak Wali Kelas memberikan himbauan agar anak – anak tidak telat membayar SPP. Heru hanya bisa tertunduk diam, dia tidak sanggup melihat tatapan mata teman – temannya, dia sudah bisa membaca pikiran mereka di balik tatapan itu. Heru bisa mendengar cemoohan walaupun mulut mereka terkunci. Heru juga tidak sanggup melihat ke arah Bapak Wali Kelas, dia hanya bisa pasrah ketika beliau menyebut namanya. Heru tidak tahu lagi, alasan apa yang harus dia sampaikan kepadanya kali ini. Kenyatannya memang dia belum bisa membayar. Ayahnya yang penjual rokok, serta ibunya yang penjual gorengan memang tidak mampu membayar uang SPP Heru. Heru sendiri kerap menitipkan gorengan – gorengan ke kantin sekolah utnuk dijualkan. Dan sepulang sekolah, Heru langsung pergi ke pasar, bukan untuk berbelanja, tapi bekerja sebagai tukang semir sepatu.
“Heru, jam istirahat nanti kamu diminta menemui Bapak Kepala Sekolah di ruangannya”, Bapak Wali Kelas menyampaikan kabar.
Di ruang Kepala Sekolah Heru menerima sepucuk surat untuk orang tuanya. Dia tidak tahu persis apa isinya, tapi pasti berhubungan dengan uang SPP. Ketika sedang mendengarkan nasehat Bapak Kepala Sekolah, Heru sempat melihat ke jendela, teman – temannya sedang mencuri – curi mengintipnya.
“Setelah ini mereka pasti mengejekku lagi”, batin Heru.
“Bayar dong, emangnya ini sekolahan Nenekmu !. Hari gini mana ada yang gratisan !”, terbayang kalimat – kalimat itu di kepala Heru, sembari masih mendengarkan nasehat Bapak Kepala Sekolah.
Sebenarnya tidak semua teman Heru berlaku jahat dan mencemooh Heru seperti itu. Masih ada teman – teman yang justru bersimpati pada Heru, pada kesulitan yang dialami Heru. Bahkan mereka pernah mengumpulkan iuran dari uang jajan mereka sendiri, agar Heru bisa melunasi SPP yang belum terbayar. Tidak jarang pula guru - guru Heru menyelipkan selembar uang lima atau sepuluh ribuan di kantong seragam Heru, karena mereka juga bersimpati kepadanya.
Jika ingin, tentunya mudah saja bagi Bapak Kepala Sekolah mendepak Heru dari sekolah. Tapi beliau selalu teringat pada prestasi yang penah ditorehkan Heru bagi keharuman nama sekolah itu. Ya, Heru pernah menjadi juara pertama lomba pidato Bahasa Inggris pelajar SMP dan SMA tingkat nasional. Prestasi inilah yang membuat nama sekolah ini menjadi melambung, hingga mendapatkan penghargaan dari Bapak Presiden. Selain itu, karena Heru tergolong murid yang pandai. Nilai akademiknya tidak pernah mengecewakan, bahkan boleh dikatakan terbaik di sekolahnya. Heru telah menjadi panutan bagi teman – temannya yang berkekurangan secara ekonomi, namun memiliki semagat yang besar untuk mencari ilmu.
***
Dari kamarnya, Heru bisa melihat ayahnya ketika membaca surat dari Bapak Kepala Sekolah tadi. Dari ekspresi wajahnya, Heru bisa melihat adanya kesedihan.
“Pak, Heru mau berhenti sekolah”, kata Heru ketika ayahnya selesai membaca surat itu.
“Jangan Heru, kamu tidak boleh berhenti sekolah. Kamu harus tetap sekolah setinggi – tingginya, biar kamu jadi orang pintar, biar kamu tidak hidup susah seperti bapak sekarang ini. Biar kamu bisa jadi insinyur seperti yang kamu mau. Jangan Heru, kamu tidak boleh berhenti sekolah”.
“Tapi Heru malu, Pak”, suaranya bergetar. Air mata mulai meleleh dari matanya.
“Bapak mengerti nak, bapak juga sedang berusaha pinjam uang kesana – kemari. Yang penting kamu belajar yang rajin, simak baik - baik pelajaran yang diberikan gurumu. Jangan hiraukan ejekan teman – temanmu. Kamu mesti sabar ya nak, jangan terpancing emosi. Masalah SPP biar bapak yang mikir, kamu jangan ikut – ikutan mikir. Pokoknya kamu harus tetap sekolah”.
“Kamu bantu doa supaya bapak sama ibu bisa dapat uang pinjaman ya, Nak”, ibunya menambahi.
“Sebenernya bapak nggak paham, katanya pendidikan zaman sekarang gratis, yang namanya gratis kan artinya tidak bayar to ?. Tapi kenyatannya kita tetap harus bayar, yang katanya untuk Uang Pagar, untuk Buku Paket, untuk Uang Pembangunan. Lha kalau begitu yang gratis apanya. Apakah karena pendaftarannya tidak bayar, itu yang disebut sekolah gratis ?”.
***
“Heru berangkat dulu, Bu”, masih dengan wajah yang muram, keesokan harinya.
“Hati – hati ya, Nak. Ingat pesan bapakmu tadi malam, kamu jangan ikut mikir soal SPP, tugasmu cuma belajar dan jadi anak pintar. Jangan hiraukan ejekan teman – temanmu, waktu jam istirahat lebih baik kamu ke perpustakaan saja, biar nggak dengar ejekan teman – temanmu itu”.
“Ya Bu, bapak mana, Bu ?”.
“Bapak sudah berangkat pagi – pagi sekali, mau ke rumah pakdemu, dulu bapakmu pernah ditawari pekerjaan yang lumayan gedhe bayarannya. Kamu doakan semoga bapak dapet pekerjaan itu ya”.
***
Hari ini Heru minta izin pulang sekolah lebih cepat. Dia mengeluh sakit perut dan pusing – pusing. Namun rupanya itu hanyalah dalih semata. Heru ingin cepat pulang karena dia ingin segera melakukan sesuatu. Sesuatu hal yang telah merasuki pikirannya beberapa hari ini. Namun sebuah suara di hatinya melarang dirinya melakukan itu. “Pikirkan bagaimana nasib bapak dan ibumu jika kau tetap melakukan itu”, begitu kira – kira suara itu berbicara. Ketika sampai di rumah, ibu Heru belum pulang dari berjualan gorengan.
***
“Ya ampun Heruuuu….Heruuuuu anakkuuuuu…..!. Ya Allah Gustiiiii……, apa yang kamu lakukan naaaaak…..!. Tolooooooong……toloooooong…… toloooooong……”. Ketika ibu pulang, dia mendapati Heru tengah tergantung kaku, masih dengan seragam putih birunya. Seutas tali jemuran yang terikat di ventilasi di atas pintu kamarnya, mencekik kuat leher Heru. Tubuhnya terbujur kaku dan dingin, matanya memutih dan lidahnya terjulur.
Para tetangga mulai berdatangan ketika ibu Heru menangis meronta – ronta di lantai. Dengan cepat mereka berusaha menurunkan Heru dari gantungan. Mereka kemudian mencoba memeriksa Heru, ternyata jantungnya masih berdenyut. Segeralah Heru dibawa ke rumah sakit, dengan harapan masih bisa diselamatkan.
***
Demi Tuhan, inikah wajah pendidikan negeri ini ?. Anak – anak yang semestinya memiliki hak menimba ilmu sebanyak – banyaknya, dipaksa ikut merasakan penderitaan orang tuanya akibat kemiskinan. Hal ini tidak seharusnya terjadi pada mereka, karena tidak semua anak memiliki mental yang kuat sehingga sanggup menanggung beban kemiskinan keluarga. Heru adalah contoh anak yang belum memiliki mental yang kuat dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Ketika dia merasa tidak sanggup lagi menerima ejekan dan cemoohan teman – temannya, maka dia pikir bunuh diri adalah satu – satunya jalan keluar yang masuk akal.
Beberapa bulan yang lalu, seorang tetangga Heru juga ditemukan gantung diri di rumahnya, karena dinyatakan tidak lulus UAN SMP, padahal dia termasuk anak pintar di sekolahnya. Mungkinkah Heru menjadikan tetangganya itu sebuah role model, sebuah contoh, sehingga dia menirunya ketika dirasa tidak sanggup lagi menerima pahitnya kenyataan hidup ?. Tugas Heru, dan juga anak – anak lain, hanyalah belajar, bukan yang lain. Kewajiban mereka hanyalah berangkat ke sekolah, menerima pelajaran dan berinteraksi dengan teman – teman. Mereka tidak boleh memikirkan berapa harga buku pelajaran yang harus mereka miliki, mereka tidak boleh tahu berapa harga bolpen dan pensil yang mereka pakai. Itu bukan tugas mereka, itu bukan kewajiban mereka, belum saatnya. Yang perlu mereka tahu adalah, dengan rajin belajar mereka akan menjadi orang pintar.
Sekolah gratis adalah gagasan yang brilian, namun bila pelaksanaannya tidak merata, dan masih ada oknum – oknum penjahat di sekolah yang menarik uang dengan dalih Iuran atau Sumbangan Pembangunan, atau Uang Pagar dan sejenisnya, maka berapa nyawa lagi yang harus hilang akibat menanggung biaya SPP. Berapa lagi anak – anak yang akan mengikuti jejak Heru, dan korban – korban lainnya. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.
***
Heru masih terpejam tak sadarkan diri. Semenjak diperiksa dokter tadi siang, belum ada perubahan apapun yang berarti. Kecemasan masih terlihat di wajah bapak dan ibu Heru. Mereka benar – benar tidak tahu apa yang harus diperbuat. Sudah dua hari Heru tak sadarkan diri di rumah sakit ini, sementara semakin lama dia di sini, akan semakin besar biaya yang harus ditanggung. Tunggakan SPP yang lebih dari lima bulan saja belum lagi terbayarkan, sekarang mereka mesti mencari uang untuk membiayai perawatan Heru. Dari mana mereka bisa mendapatkan uang itu. Benar – benar berat permasalahan yang tengah mereka hadapi, ketabahan dan kesabaran mereka sedang diuji. Namun yang terpenting bagi mereka adalah keselamatan Heru.
***
Pintu kamar Heru diketuk, seorang perempuan paruh baya yang tak dikenal datang menjenguk. Perempuan itu mengetahui kejadian yang dialami Heru dari tayangan televisi. Ya benar, kemarin bapak dan ibu Heru memang diwawancarai oleh beberapa stasiun televisi tentang kejadian ini, dan perempuan paruh baya itu adalah salah satu pemirsa yang tergerak hatinya untuk membantu meringankan beban orang tua Heru.
Ini adalah harapan. Bantuan yang mereka terima ini adalah harapan bahwa Heru akan sembuh. Ternyata, orang lain yang tidak mereka kenal pun merasa prihatin, dan dengan sukarela memberikan bantuan. Orang tua Heru tidak boleh putus asa dengan apa yang sedang mereka hadapi. Tetap berjuang demi hidup, berdoa dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan.
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin….., terima kasih Tuhan, terima kasih atas rezeki yang Engkau limpahkan untuk kami. Berikan kesembuhan bagi Heru putra kami. Bimbinglah dia kepada masa depan yang lebih baik, wujudkan apa yang menjadi cita – citanya. Amien”, ibu Heru memanjatkan doanya.
***
Semua ini bukanlah salah siapa – siapa. Bukan salah Heru, Heru hanyalah korban keadaan. Orang tua Heru tidak bisa disalahkan karena hidup dalam kemiskinan. Sekolah juga tidak bisa disalahkan karena menetapkan SPP yang tidak mampu dibayar oleh orang tua Heru. Lalu, apakah pantas menjatuhkan vonis bersalah kepada teman – teman yang mengejek Heru, yang notabene mereka hanyalah anak – anak yang baru beranjak remaja, yang masih labil dan belum bisa memilah dan mengontrol ucapan – ucapan yang boleh dan tidak boleh diucapkan kepada orang lain secara dewasa.
***
Mata Heru terbuka ketika sinar mentari menembus jendela Rumah Sakit, lembut menyentuh kelopak matanya. Tangannya bergerak – gerak, detak jantungnya mulai stabil, mulutnya mulai berusaha bersuara. Horee, Heru telah kembali !. Terpancar kebahagiaan tiada tara di wajah orang tuanya. Di ruang perawatan ini, telah berkumpul teman – teman Heru, termasuk mereka yang selama ini mencemooh dirinya. Dengan ditemani Bapak Kepala Sekolah, mereka ingin menjenguk Heru, dan sekaligus meminta maaf atas perbuatan mereka selama ini. Ya, namanya juga anak remaja, masih perlu banyak bimbingan agar terhindar dari perbuatan – perbuatan buruk, dan lebih memilih melakukan hal – hal yang benar.
Semoga ini bisa menjadi suntikan motivasi baru bagi Heru dalam menjalani hari – harinya sebagai seorang pelajar. Semoga saja tidak ada dendam di dada Heru kepada teman – temannya itu. Dan semoga dia bisa belajar, bahwa apa yang telah dilakukannya itu adalah perbuatan yang salah. Semoga di masa yang akan datang, pendidikan dan perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih baik, sehingga tidak perlu lagi terjadi peristiwa seperti ini. Semoga tidak ada Heru – Heru lain yang menjadi korban.
Ayo Heru, bersemangatlah !. Sejuta impian menantimu !. Berkaryalah !. Raih cita – citamu demi masa depan yang lebih baik, seperti harapan orang tuamu, dan juga harapan para orang tua yang menginginkan anak – anaknya bersekolah sampai ke jenjang yang paling tinggi !. Kamu adalah harapan bangsa. Generasimu adalah generasi penerus bangsa !. Songsong hari esok yang cerah, secerah berkas cahaya pagi.

SELESAI

MENYAMBANGI PASAR RAKYAT KALIBANTENG

(Dimuat di Harian Suara Merdeka, 30 Agustus 2009)

Di setiap hari Minggu, ada pemandangan berbeda terlihat di ruas jalan Abdurrahman Saleh Semarang. Pemandangan yang hanya bisa disaksikan dari sekitar jam 6 hingga jam 8 pagi.

Mulai dari depan Museum Ronggowarsito hingga depan kantor Pegadaian, ditemui banyak gelaran dagangan seperti halnya di seputaran Simpang Lima. Kiri dan kanan ruas jalan dipadati berbagai barang kebutuhan rumah tangga sehari – hari. Mulai dari mainan anak – anak, pakaian, makanan ringan, ember, pot dan banyak jenis barang lain, dengan harga yang menyenangkan. Bahkan, para orang tua juga bisa mengajak anak – anak mereka mengendarai Andhong dengan rute Museum Ronggowarsito - Jalan Sri Rejeki Utara - Jalan WR. Supratman - Jalan Pamularsih - lalu kembali ke Museum. Cukup dengan Rp. 5000, dijamin suasana Minggu pagi menjadi meriah.

Pasar rakyat ini rupanya mendapat sambutan positif dari warga sekitar. Terbukti banyak sekali yang datang menyambangi. Ada yang memang dengan sengaja pagi – pagi ke sini, masih mengenakan piyama dan cuci muka seadanya, bersama suami sambil menggendong anak. Ada pula yang menyempatkan mampir sepulang berolah raga. Namun ada pula yang sekedar nongkrong sambil menikmati suasana. Bahkan ada yang datang dari tempat yang agak jauh sehingga perlu mengendarai kendaraan bermotor. Mau tidak mau tempat – tempat parkir pun bermunculan di sana.

Menurut seorang pedagang, antusias pengunjung yang berbelanja membuat dirinya mendapatkan tambahan penghasilan yang lumayan, selain juga berjualan di kios atau toko. Dia juga menambahkan, sejak dibuka pertama kali sekitar empat tahun lalu, hingga kini semakin banyak pedagang yang datang. Beberapa dari mereka adalah para korban PHK. Awalnya, pasar rakyat ini hanya menempati area pinggir jalan di depan Museum Ronggowarsito, berhadapan langsung dengan bunderan Kalibanteng. Namun kini meluas hingga ke Jalan Abdurrahman Saleh.

Para pedagang juga datang dari berbagai tempat. Ada yang dari dalam kota Semarang, ada pula yang dari Gunung Pati, Kebumen bahkan Padang Sumatra Barat. Mereka bersedia datang dari jauh berjualan di sini karena potensinya besar. Mereka berharap lokasi ini bisa terus ramai dikunjungi seperti halnya di Simpang Lima. Itung – itung membantu pemerintah mengurangi kepadatan di Simpang Lima, meski tidak banyak.

Wajah Kalibanteng menjadi berbeda dengan hadirnya pasar rakyat ini. Jika selama ini warga sekitar sudah dihibur dengan tontonan pesawat yang sedang Take Off dan Landing di Bandara Ahmad Yani, Pasar Rakyat Kalibanteng menjadi hiburan tambahan bagi masyarakat di hari Minggu.





MENGADOPSI KONSEP CITY WALK UNTUK KOTA SEMARANG

(Dimuat di Harian Suara Merdeka, 5 Juli 2009)

Anda warga Kota Semarang dan sekitarnya, masih ingatkah dengan City Walk Kota Lama Semarang ?. Pada medio Agustus 2007 lalu Pemkot Semarang punya hajatan besar bertajuk Semarang Pesona Asia (SPA). Saat itu tersiar kabar kota Semarang mempunyai sebuah Ciwalk atau City Walk yang berlokasi di Jl Merak, sepanjang kurang lebih 400 meter, yang terletak di sisi selatan Polder Tawang. Dimulai dari ujung barat laut, tempat Tugu Reclame Kiost peninggalan Belanda terletak, hingga perempatan Jl Cendrawasih.

Ciwalk yang diusulkan Bappeda dengan mengambil anggaran APBN 2007 sebesar Rp 1 miliar ini menyuguhkan sajian utama berupa wisata kuliner dan tempat untuk berjalan – jalan atau sekedar duduk – duduk di sepanjang bibir kolam polder..

Namun sekarang bagaimana kabarnya City Walk Kota Lama Semarang ?. Masih adakah gerangan dirinya ?. Tidak berapa lama setelah berakhirnya hajatan SPA, Ciwalk itu ternyata telah kembali pada habitatnya semula, sebagai ruas jalan biasa dengan sisa – sisa keindahan yang dua tahun lalu dipersiapkan untuk gelaran SPA.

Saya ingin menunjukkan konsep yang dianut oleh tiga City Walk di kota Bandung, yang sukses dan ramai dikunjungi tidak hanya oleh warga Bandung dan sekitarnya saja, tapi juga oleh warga Jakarta di setiap akhir pekan, yaitu Cihampelas Walk (Ciwalk), Parijs van Java (PVJ) dan Braga City Walk (BCW).

Ketiganya menganut konsep mal yang dilengkapi area terbuka dalam satu kawasan yang sama. Konkritnya begini, selain bangunan mal seperti mal pada umumnya, tepat di sebelahnya juga terdapat ruas jalan dengan atap terbuka bagi pejalan kaki, di mana di sebelah kanan dan kiri ruas jalan itu terdapat etalase - etalase toko dan juga beberapa kafe dan resto. Jadi masyarakat memiliki dua tujuan sekaligus ketika menyambangi kawasan Ciwalk itu. Ingin berbelanja atau sekedar Eye Shopping di bagian mal-nya, lalu dilanjutkan berjalan – jalan atau duduk – duduk dan ngobrol – ngobrol santai bersama teman – teman, dikelilingi taman – taman hijau yang sejuk oleh semilir angin, ditemani secangkir teh atau kopi hangat dan camilan - camilan ringan, sambil menikmati indahnya udara sore, atau bahkan makan malam di salah satu Terrace Cafe yang tersedia di sana.

Jika dibandigkan dengan Ciwalk Kota Lama, orang akan lebih memilih Warung Semawis di Kampung Pecinan Semarang, yang memiliki konsep serupa, namun dengan suasana yang lebih khas dengan ciri budaya negeri Cina-nya, sehingga gregetnya lebih terasa. Itu sebabnya Ciwalk Kota Lama tidak bertahan lama. Akan lebih bermanfaat jika gedung - gedung di kawasan Kota Lama difungsikan sebagai sentra kuliner khusus kalangan menengah ke atas, seperti yang telah dipelopori Restoran Ikan Bakar Cianjur, dan terbukti sukses menarik pengunjung.

Lalu apakah Semarang memiliki ruang untuk konsep Ciwalk seperti yang dimiliki kota Bandung ?. Bukan hanya ruang, tapi kota Semarang memiliki potensi yang sangat besar untuk hal ini. Saya pribadi berharap Mal Paragon City yang sedang dalam tahap pembangunan, bisa menjadi jawabannya. Kawasan DP Mal pun sebenarnya juga berpotensi untuk rancangan Ciwalk seperti itu, jika seandainya bangunan Rukan Pemuda Mas dan tempat parkirnya diganti dengan taman hijau tempat orang bisa duduk – duduk santai. Sri Ratu Pemuda juga bisa dibuat seperti itu. Dan juga kawasan - kawasan lain yang sekiranya memungkinkan. Kita berharap konsep ini bisa diadopsi oleh para pemilik usaha, investor dan juga Pemkot Semarang, dalam usaha pengembangan dan peningkatan kualitas pariwisata kota Semarang.

Contohnya sudah ada dan terbukti berhasil. Tidak ada salahnya jika konsep itu dicoba diaplikasikan di kota Semarang ini. Warga Semarang pasti akan menyambutnya dengan riang gembira. Semarang akan dibanjiri para wisatawan luar kota, tidak hanya dari Jawa Tengah dan Yogyakarta saja, bahkan juga mungkin dari Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Semarang tidak lagi hanya sebagai kota transit untuk sekedar membeli Loenpia, Wingko Babat dan Bandeng Presto saja, tapi menjadi kota tujuan utama pariwisata Jawa Tengah. Semoga.







"LASKAR PELANGI" A LA ADNAN KATINO



Resensi Novel. Dimuat di harian Suara Merdeka, 31 Mei 2009

Judul : Menggapai Matahari, Perjalanan Panjang Menjemput Asa
Pengarang : Adnan Katino
Tahun : Juni, 2008
Penerbit : Hikam Pustaka, Yogyakarta
Halaman : 392 halaman


NOVEL ini memiliki tema dan pelajaran hidup yang hampir mirip dengan novel Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi. Sangat inspiratif dan luar biasa. Sebagai pengarang, Adnan Katino mencoba menyampaikan pesan, berbagai penderitaan dan kesengsaraan hidup pasti mampu diselesaikan, jika kita tetap tawakkal, bersabar, berdoa, terus berjuang dan berusaha, demi mewujudkan keinginan untuk keluar dari penderitaan. Selain itu, sebuah tekad yang sudah bulat dan kuat terpatri di dalam dada, tidak akan pernah bisa dihancurkan dan dihalangi oleh apa pun. Termasuk oleh kondisi kemiskinan dan kekurangan. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan yang mantap bahwa Allah pasti akan membantu mewujudkan tekad itu.

Ceritanya diawali dengan latar kehidupan sebuah keluarga miskin di pedalaman hutan Sumatra Utara. Seorang bayi yang kemudian diberi nama Adnan, lahir tanpa disaksikan oleh ayah tercintanya. Ya, ketika itu Kamirun, ayah Adnan, sedang bekerja sebagai buruh panen padi di dusun sebelah, yang jaraknya sekitar satu hari berjalan kaki. Umi, ibundanya, ketika melahirkan Adnan pun, tidak ada yang membantu. Sebab saat itu Ani, kakak tertua Adnan, sedang mencari bantuan tetangga terdekat yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Kedua kakak Adnan di rumah pun tidak mampu berbuat apa – apa karena masih balita.

Ketika pulang bersama Nenek Sapari, Ani mendapati ibundanya sedang kepayahan mengerahkan tenaga yang tersisa. Merebus air untuk membersihkan darah – darah di tubuh Adnan mungil dengan air hangat. Padahal, dia baru saja melahirkan, tentu terbayang di benak kita betapa besar tenaga yang dibutuhkan untuk sebuah persalinan.

Gambaran keharuan semacam itulah yang akan mampu menggugah empati pembaca. Kita pun akan memutuskan untuk tidak berhenti membacanya sampai halaman terakhir. Sebab, apa yang diceritakan pada halaman – halaman awal, masih akan terus berlanjut pada halaman – halaman berikutnya.

Pada bab - bab selanjutnya diceritakan masa kanak – kanak Adnan yang dititipkan oleh orang tuanya kepada kerabat yang kaya. Sebab, orang tua dan kakak – kakaknya mesti pindah mencari ladang garapan baru yang lebih menghasilkan. Itu karena sawah yang mereka garap sekarang hasilnya masih belum mampu mencukupi kebutuhan sehari – hari. Apalagi melunasi utang – utang yang makin menumpuk. Di dalam keluarga itu Adnan tidak dianggap sebagai layaknya kerabat. Dia diperlakukan kasar dan mengalami penderitaan demi penderitaan akibat tugas – tugas harian yang diberikan pamannya, yang terlalu berat dilakukan oleh bocah seumur Adnan kala itu. Tiap pagi sebelum berangkat sekolah dia diharuskan membersihkan halaman, lalu mencari talas di sawah pinggir hutan sebagai bahan pakan itik. Tidak berhenti sampai di situ, dia pun diharuskan memasak dan mengolah talas itu menjadi pakan itik. Jadilah setiap pagi dia terlambat masuk sekolah.

Itu hanyalah sebagian kecil dari potret perjuangan dan keharuan panjang dari seorang Adnan Katino untuk menggapai matahari. Berawal pada suatu malam ketika di rumah seorang warga yang baru saja membeli sebuah televisi, para warga berdatangan untuk mencari tahu seperti apa sih bentuk televisi itu. Terutama Adnan kecil yang begitu terkesima terhadap sebuah kotak yang mampu mengeluarkan gambar dan suara itu. Terlebih lagi ketika acaranya menyiarkan film yang bercerita tentang perjuangan seorang anak desa, yang bercita – cita mencari kesuksesan di Jakarta. Adnan begitu terbius terhadap tokoh utama film itu. Dia merasakan tokoh itu sebagai dirinya. Perlahan – lahan film itu mampu menumbuhkan benih – benih semangat perjuangan untuk mengubah nasibnya, keluar dari kemiskinan yang tak pernah berhenti mengalir di dalam darah keluarganya. Dan film itu pulalah yang kemudian menjadi amunisi utama bagi Adnan kecil untuk terus bersekolah dan berprestasi.

Novel yang tokoh utamanya adalah pengarangnya sendiri ini juga menceritakan kecerdasan seorang Adnan yang selalu menjadi juara satu di kelasnya, dengan nilai rapor yang sempurna. Semenjak SD pun dia sudah mengenyam pendidikan pesantren, tidak pernah berhenti hingga pada akhir pendidikannya di tingkat perguruan tinggi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Perjuangan panjangnya berlanjut ketika dia memutuskan bersekolah di Madrasah ‘Aliyah Al Falah Kediri, dan Pondok Pesantren Darul Falah Kediri. Sepertinya penderitaan tak hendak menjauh dari Adnan. Di Kediri pun dia masih harus bekerja keras demi memasukkan sesuap nasi pengganjal perut, dan juga untuk membayar sekolahnya yang sudah menunggak beberapa bulan. Maka bekerjalah dia menjadi cutat, istilah untuk orang yang bekerja menaikkan pasir ke dalam truk di lokasi penambangan pasir. Bahkan, akibat kelelahan sekolah dan bekerja, Adnan pernah batuk darah.

Setelah dinyatakan lulus, Adnan bertekad untuk kuliah. Walaupun sadar tidak memiliki biaya, dia yakin Allah akan menolongnya. Allah akan merestui tekad besarnya untuk menjadi orang sukses demi menaikkan derajat keluarganya. Dengan perjuangan yang lagi – lagi dipenuhi penderitaan, pada akhirnya dia berhasil kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Untuk membiayai kuliahnya, dia bekerja sebagai pelukis kaligrafi di Pasar Sekaten dan acara – acara pengajian akbar di sekitar Yogya. Bahkan bekerja pula sebagai penjaga masjid di sebuah kompleks Angkatan Udara. Di Yogya Adnan juga sempat sakit malaria yang hampir merenggut nyawanya. Dia lalu memohon kepada Allah, “Kalaupun Engkau tetap akan mengambil nyawaku, kumohon jangan di sini. Aku ingin mati dalam dekapan hangat ibu.” (halaman 285)

Seiring perjalanan waktu, walaupun hanya mendapat sedikit uang, dia masih mampu membantu adiknya, Sugeng, yang menyusul ke Yogya untuk melanjutkan sekolah pula. Jadilah kedua kakak - beradik ini berjuang demi mewujudkan tekad mengubah nasib. Hingga pada akhirnya Adnan dinyatakan lulus menjadi seorang sarjana, dan Sugeng berhasil menjadi anggota Bintara TNI. Sebuah adegan mengharukan dituliskan pada akhir paragraf novel ini :
….. setelah menerima foto itu, bapak berkeliling kampung sambil sesenggukan, tubuh bergetar dan pipi yang basah oleh air mata. Setiap orang yang ditemuinya disodori foto itu, lalu dengan terbata – bata bapak berkata, “Lihat, mereka ini anakku…., mereka anakku….”.

Kekuatan novel ini terletak pada adegan – adegan keharuan dan perjuangan hidup yang membuat nafas seolah – olah berhenti. Contohnya ketika tiga ayam kesayangan Adnan yang diamanatkan ayahnya untuk dipelihara, dipotong oleh pamannya tanpa permisi :
Di lubang sampah itu berserak seonggok bulu ayam yang masih basah. Corak warna bulu itu mengingatkan aku pada tiga makhluk sahabatku yang tadi tidak muncul ketika kupanggil. Semakin kuamati, aku semakin yakin kalau bulu itu adalah bulu yang dicabut dari ayam kesayanganku. Seketika itu air mataku mengalir deras. Tetapi suara tangisku tertahan di tenggorokan selaksa gumpalan sekam menyumbat nafasku.

Contoh lainnya ketika Adnan membayarkan utang orang tuanya dengan uang hasil jerih payahnya bekerja menjadi buruh tanam padi :
“Begini saja, aku punya uang, jadi biar aku yang bayar”, kataku.
“Nan, uang itu kan buat ongkos kau ke pesantren”, kata ibu sembari terisak.
“Nggak apa – apa bu, sisanya juga masih cuikup kok”.
“Terus nanti di sana kau makan apa ?”.
“Insya Allah ada bu”.
Menyaksikan semua itu bapak hanya tertunduk dengan mata berkaca- kaca.

Demikian pula ketika sekarung beras hasil panen yang diantar langsung oleh ayah Adnan jauh – jauh dari kampung, raib begitu saja dicuri orang. Padahal sang ayah rela tidak makan seharian karena kehabisan uang untuk ongkos kendaraan umum :
Aku penasaran, kuangkat dan…. karung itu benar – benar telah kosong. Badanku lunglai, seakan tulang belulangku tak mampu lagi menopangnya. Hasil jerih payah bapak dan ibu yang dengan susah payah diantar kepadaku, sekarang raib tak bersisa. Sampai kapanpun aku tidak rela, cucuran peluh bapak dan ibu untuk mempersembahkan semua itu padaku yang tak mungkin bisa kulupakan. Aku tertunduk lemas di sudut gubuk. Air bening sekali lagi mengalir di pipiku.

Meskipun secara keseluruhan novel ini sangat bagus, inspiratif dan menyentuh perasaan, namun ada beberapa hal yang sedikit mengusik kenyamanan membacanya. Di awal – awal cerita tidak digambarkan secara detail latar lokasi serta keterangan waktu kejadian. Hal itu membuat pembaca bertanya – tanya : tahun berapa tepatnya Adnan lahir. Di kabupaten atau kecamatan mana tepatnya dia tinggal. Tahun berapa Adnan meninggalkan kampungnya untuk melanjutkan sekolah ke Kediri. Kapan tepatnya dia kuliah di Yogya dengan uang SPP per semester cuma Rp. 150.000.

Adnan Katino telah berhasil membuat pembaca penasaran. Karena pembaca masih ingin mengetahui apa yang terjadi selanjutnya setelah dia lulus dari perguruan tinggi. Masih banyak cerita keharuan dan perjuangan hidup yang bisa dieksplorasi dan diperbanyak lagi. Jika Laskar Pelangi berhasil menarik perhatian produser untuk menggarap filmnya, maka Menggapai Matahari pun layak mendapatkan kesempatan yang sama.

Sangat direkomendasikan bagi para– pelajar untuk membaca novel ini. Mereka yang memiliki cita – cita tinggi dan tekad yang kuat, namun terhambat oleh kondisi kekurangan dan kemiskinan. Ketika memiliki sebuah harapan pasti selalu ada jalan untuk meraihnya, dengan tidak lupa untuk selalu beribadah dan berdoa, berusaha, bersabar dan berserah diri pada Allah SWT.

AKU NGGAK SENGAJA


Cerpen. (Dimuat di harian Solopos, 25 Juli 2004)


Suatu hari di sebuah toko buku….
“Eh, sorry”.
“Kurang ajar !. Kamu sengaja ya ! Mau curi – curi kesempatan ya !”.
“Enak aja. Siapa yang mau curi – curi kesempatan?”.
“Buktinya kamu nyolek pantatku !”.
“Aku nggak nyolek. Aku mau ngambil buku itu tapi nggak sengaja kena pantatmu”.
“Alaaah alasan !. Muka seperti kamu emang muka – muka mesum”.
“Hei, jangan sembarangan ya kalo ngomong !!”.
“Emangnya kenapa, kamu mau pukul aku ?. Pukul kalo berani !. Udah nyolek masih mau mukul juga ?”.
“Dasar cerewet. Awas kamu… tak sobek – sobek mulutmu nanti !”.
“E…e…e… ada apa ini, kok ribut – ribut ?”, seorang satpam datang.
“Dia nyolek pantat saya, pak satpam”.
“Bohong pak !. Saya nggak ada maksud, saya nggak sengaja”.
“Iya, tapi kan sama aja. Artinya tangan kamu sudah menyentuh pantatku !. Sama aja kan?”.
“Lain dong !. Saya kan nggak sengaja. Kalo disengaja, rasanya lebih nikmat. Kalo nggak disengaja, nggak kerasa apa – apa”, kata si pemuda
“Benar begitu…. eh siapa namamu ?”, tanya pak satpam kepada pemuda itu.
“Jolobiyo, pak”.
“Benar begitu nak Jolobiyo?”.
“Saya nggak bohong pak satpam. Coba deh bapak buktiin sendiri”.
Sesaat kemudian…
“Kok pak satpam ikut – ikutan nyolek pantat saya sih?”, protes perempuan itu.
“Eh… enggak… saya cuma mau buktiin, bener nggak omongan si Jolobiyo ini”.
“Gimana pak ?”, tanya Jolobiyo kemudian.
“Kamu betul anak muda. Rasanya memang lain”.
“Lho, bagaimana urusannya ini ?. Saya malah dua kali dicolek. Gimana sih ?”.
“Mbak…. siapa namnya tadi?”, tanya pak satpam.
“Paula”.
“Mbak Pau, mas Jolobiyo ini nggak salah, soalnya dia nggak sengaja, dan dia nggak merasakan nikmat apa – apa”.
“Berarti pak satpam dong yang salah ?”.
“O nggak bisa. Saya kan penegak hukum di sini. Saya nggak bisa disalahkan. Justru tugas saya mencari siapa yang salah untuk selanjutnya dihukum”.
“Tapi pak satpam tadi udah nyolek pantat saya”.
“Itu hanyalah cara saya untuk mencari pembuktian. Itu bukan kesalahan”.
“Terus gimana dong ?”.
“Begini saja. Kalian berdua berdamai saja. Mbak Pau balas saja nyolek pantat Jolobiyo ini”.
“Ah nggak mau. Pantatnya tepos”.
“Enak aja main balas. Aku nggak mau dicolek sama perempuan ini !”.
“Terus gimana dong ?”.
“Ask the audience1). Kita tanya pengunjung toko buku ini yang sedari tadi sudah melihat ribut – ribut ini. Bagaimana bapak – bapak, ibu – ibu ?”, pak satpam berusaha mencari jalan tengah.
“Setujuuu !”.
“Colek !”.
“Cium !”.
“Jambak !”.
“Tampar !”.
“Masukin penjara !”.
“Telanjangin !”.
“Bilangin ke ibunya !”.
“Pelecehan !”.
“Hidup emansipasi !”.
“Merdeka !”.
“Sunat !”.
“Campur sari !”.
“Astaghfirullah !”.
“Pak, bukunya dibayar dulu!”.
“Aku ra melu – melu lho !”.
“Stooooooooooopppp !!!”.
Suasana hening…
“Kalian apa – apaan sih ?. Dimintain pendapat malah ribut sendiri – sendiri !”.
“Kita nggak bisa pake cara ini pak satpam”, kata Jolobiyo.
“Lalu ?”.
“Phone a friend2)”.
“Ok, boleh kita coba. Anak muda, kamu mau telpon siapa?”.
“Kakek saya”.
“Kenapa ?”.
“Dulu dia juga pernah mengalami masalah seperti ini”.
“Ok. Mbak Pau, mau nelpon siapa ?”.
“Komnas HAM”.
“Kenapa ?”.
“Saya sudah dirugikan”.
“Ok. Kita mulai. Kamu duluan Jolobiyo. Waktu anda 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Hallo eyang, saya lagi ada masalah nih. Saya nggak sengaja nyolek pantat cewek, dan sekarang dia marah sama saya. Gimana dong, saya mesti gimana nih. Padahal saya kan nggak sengaja“.
“Ceweknya seksi nggak ?”.
“Ya, lumayan sih”.
“Kamu tadi nyolek yang sebelah kiri atau kanan?”.
“Kayaknya sebelah kiri deh”.
“Kalo gitu, sekarang colek aja yang sebelah kanan, beres kan?”.
“Aduh, eyang gimana sih, kok malah begitu ?. Ya udah deh, makasih banget eyang”.
“Cukup, waktu habis !. Sekarang giliran mbak Pau. Silahkan mbak, waktu anda 60 detik dari… sekarang”.
Sesaat kemudian…
“Gimana mbak…?”.
“Aduh, tulalit, telponnya lagi rusak”.
“Kalo gitu kita ke pilihan yang terakhir. Fifty fifty3)”.
“Apa pilihannya pak satpam?”.
“Jolobiyo, kamu harus mau dicolek sama mbak Pau atau… kalau nggak mau, kamu mesti masuk penjara!”.
“Apa ?!. Aku nggak mau !. Enak banget dia nyolek pantat saya”.
“Aku juga nggak mau nyolek pantat dia. Pantatnya tepos. Nggak adil dong. Lihat nih pantatku, semok kan ?”.
“Ya udah, terserah kalian. Pilihannya cuma itu”.
“Ok lah. Nih, silahkan”, Jolobiyo menyodorkan pantatnya untuk dicolek.
Sesaat kemudian…
“Pak satpam lihat tuh, dia menikmati nyolek pantatku”.
“Alaaah, kamu juga menikmati dicolek sama dia. Naaah, beres kan. Sekarang salaman, masalah sudah selesai”.
“Cium… cium… cium… !”.
“Sosor !”.
“Peluk !”.
“Gendong !”.
“Pangku !”.
“Geret !”.
“Pulangnya anterin !”.
“Minum es teh !”.
“Campur sari !”.
“Aku melu… aku melu !”.
“Alhamdulillah !”.
“Mulih… mulih, acarane wis bar !”.

Selesai

1) Salah satu alternatif dalam menjawab pertanyaan pada kuis Who Wants to be a Millionaire. Penonton diperbolehkan membantu memilihkan jawaban yang tepat melalui alat yang telah disediakan.
2) Salah satu alternatif dalam menjawab pertanyaan pada kuis Who Wants to be a Millionaire. Peserta diberi kesempatan menghubungi sesorang yang ada di rumah untuk membantu memilihkan jawaban yang tepat.
3) Salah satu alternative dalam menjawab pertanyaan pada kuis Who Wants to be a Millionaire. Dua pilihan jawaban dihilangkan untuk mempermudah peserta memilih jawaban yang tepat.