SEBERKAS CAHAYA PAGI


Cerpen Arswendo Wirawan
Pemenang Favorit Lomba Menulis Cerpen Remaja Rohto 2009

Heru tergeletak lemas di sebuah Instalasi Gawat Darurat. Matanya terpejam, selang infus menjulur di tubuhnya. Detak jantungnya tidak teratur, kadang ada namun lemah, dan terkadang hilang beberapa saat. Sang ibu dengan setia mendampingi di samping ranjang, meratapi nasib Heru yang malang. Tak berhenti dia membaca doa – doa serta Surat Yasin, berharap kesadaran Heru segera kembali. Namun di sela – sela lafal doa, terdengar isak tangis ibu Heru yang terdengar begitu menyayat. Berkali – kali dia menciumi kening Heru dengan penuh kasih sayang. Sang ayah mencoba menghibur, memberikan pengertian supaya istrinya bersabar dan tabah.
Kemudian dokter yang merawat Heru datang memeriksa perkembangan kondisi Heru. Dia memeriksa denyut nadi, mata, serta luka memar yang melingkar di leher Heru. Ekspresi wajah dokter menunjukkan seribu satu makna. Dia tidak tersenyum dan juga tidak menunjukkan tanda – tanda khawatir. Mengangguk – angguk namun terkadang juga menggeleng – geleng.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok ?”, tanya sang ayah.
“Denyut nadinya membaik, namun belum bisa menunjukkan adanya perkembangan kesadaran. Nanti malam saya akan memeriksanya lagi, bapak dan ibu saya harap tidak berhenti berharap”.
***
“Bu, Heru berangkat dulu”, pamit Heru dengan wajah muram, beberapa hari yang lalu. Sang ibu sangat mengerti ekspresi wajah Heru yang seperti itu. Penyebabnya sama seperti bulan – bulan yang lalu. Heru merasa malu karena sudah lebih lima bulan belum membayar SPP. Teman – teman di sekolah selalu menyindir dan mengejeknya, menyebutnya anak teladan, yang maksudnya adalah ‘contoh sukses siswa yang menunggak SPP’. Heru memang anak pintar dan berprestasi, namun di lain sisi Heru pun terancam tidak bisa melanjutkan sekolah karena menunggak SPP.
Begitu pun kali ini, teman – teman mengejeknya lagi ketika Bapak Wali Kelas memberikan himbauan agar anak – anak tidak telat membayar SPP. Heru hanya bisa tertunduk diam, dia tidak sanggup melihat tatapan mata teman – temannya, dia sudah bisa membaca pikiran mereka di balik tatapan itu. Heru bisa mendengar cemoohan walaupun mulut mereka terkunci. Heru juga tidak sanggup melihat ke arah Bapak Wali Kelas, dia hanya bisa pasrah ketika beliau menyebut namanya. Heru tidak tahu lagi, alasan apa yang harus dia sampaikan kepadanya kali ini. Kenyatannya memang dia belum bisa membayar. Ayahnya yang penjual rokok, serta ibunya yang penjual gorengan memang tidak mampu membayar uang SPP Heru. Heru sendiri kerap menitipkan gorengan – gorengan ke kantin sekolah utnuk dijualkan. Dan sepulang sekolah, Heru langsung pergi ke pasar, bukan untuk berbelanja, tapi bekerja sebagai tukang semir sepatu.
“Heru, jam istirahat nanti kamu diminta menemui Bapak Kepala Sekolah di ruangannya”, Bapak Wali Kelas menyampaikan kabar.
Di ruang Kepala Sekolah Heru menerima sepucuk surat untuk orang tuanya. Dia tidak tahu persis apa isinya, tapi pasti berhubungan dengan uang SPP. Ketika sedang mendengarkan nasehat Bapak Kepala Sekolah, Heru sempat melihat ke jendela, teman – temannya sedang mencuri – curi mengintipnya.
“Setelah ini mereka pasti mengejekku lagi”, batin Heru.
“Bayar dong, emangnya ini sekolahan Nenekmu !. Hari gini mana ada yang gratisan !”, terbayang kalimat – kalimat itu di kepala Heru, sembari masih mendengarkan nasehat Bapak Kepala Sekolah.
Sebenarnya tidak semua teman Heru berlaku jahat dan mencemooh Heru seperti itu. Masih ada teman – teman yang justru bersimpati pada Heru, pada kesulitan yang dialami Heru. Bahkan mereka pernah mengumpulkan iuran dari uang jajan mereka sendiri, agar Heru bisa melunasi SPP yang belum terbayar. Tidak jarang pula guru - guru Heru menyelipkan selembar uang lima atau sepuluh ribuan di kantong seragam Heru, karena mereka juga bersimpati kepadanya.
Jika ingin, tentunya mudah saja bagi Bapak Kepala Sekolah mendepak Heru dari sekolah. Tapi beliau selalu teringat pada prestasi yang penah ditorehkan Heru bagi keharuman nama sekolah itu. Ya, Heru pernah menjadi juara pertama lomba pidato Bahasa Inggris pelajar SMP dan SMA tingkat nasional. Prestasi inilah yang membuat nama sekolah ini menjadi melambung, hingga mendapatkan penghargaan dari Bapak Presiden. Selain itu, karena Heru tergolong murid yang pandai. Nilai akademiknya tidak pernah mengecewakan, bahkan boleh dikatakan terbaik di sekolahnya. Heru telah menjadi panutan bagi teman – temannya yang berkekurangan secara ekonomi, namun memiliki semagat yang besar untuk mencari ilmu.
***
Dari kamarnya, Heru bisa melihat ayahnya ketika membaca surat dari Bapak Kepala Sekolah tadi. Dari ekspresi wajahnya, Heru bisa melihat adanya kesedihan.
“Pak, Heru mau berhenti sekolah”, kata Heru ketika ayahnya selesai membaca surat itu.
“Jangan Heru, kamu tidak boleh berhenti sekolah. Kamu harus tetap sekolah setinggi – tingginya, biar kamu jadi orang pintar, biar kamu tidak hidup susah seperti bapak sekarang ini. Biar kamu bisa jadi insinyur seperti yang kamu mau. Jangan Heru, kamu tidak boleh berhenti sekolah”.
“Tapi Heru malu, Pak”, suaranya bergetar. Air mata mulai meleleh dari matanya.
“Bapak mengerti nak, bapak juga sedang berusaha pinjam uang kesana – kemari. Yang penting kamu belajar yang rajin, simak baik - baik pelajaran yang diberikan gurumu. Jangan hiraukan ejekan teman – temanmu. Kamu mesti sabar ya nak, jangan terpancing emosi. Masalah SPP biar bapak yang mikir, kamu jangan ikut – ikutan mikir. Pokoknya kamu harus tetap sekolah”.
“Kamu bantu doa supaya bapak sama ibu bisa dapat uang pinjaman ya, Nak”, ibunya menambahi.
“Sebenernya bapak nggak paham, katanya pendidikan zaman sekarang gratis, yang namanya gratis kan artinya tidak bayar to ?. Tapi kenyatannya kita tetap harus bayar, yang katanya untuk Uang Pagar, untuk Buku Paket, untuk Uang Pembangunan. Lha kalau begitu yang gratis apanya. Apakah karena pendaftarannya tidak bayar, itu yang disebut sekolah gratis ?”.
***
“Heru berangkat dulu, Bu”, masih dengan wajah yang muram, keesokan harinya.
“Hati – hati ya, Nak. Ingat pesan bapakmu tadi malam, kamu jangan ikut mikir soal SPP, tugasmu cuma belajar dan jadi anak pintar. Jangan hiraukan ejekan teman – temanmu, waktu jam istirahat lebih baik kamu ke perpustakaan saja, biar nggak dengar ejekan teman – temanmu itu”.
“Ya Bu, bapak mana, Bu ?”.
“Bapak sudah berangkat pagi – pagi sekali, mau ke rumah pakdemu, dulu bapakmu pernah ditawari pekerjaan yang lumayan gedhe bayarannya. Kamu doakan semoga bapak dapet pekerjaan itu ya”.
***
Hari ini Heru minta izin pulang sekolah lebih cepat. Dia mengeluh sakit perut dan pusing – pusing. Namun rupanya itu hanyalah dalih semata. Heru ingin cepat pulang karena dia ingin segera melakukan sesuatu. Sesuatu hal yang telah merasuki pikirannya beberapa hari ini. Namun sebuah suara di hatinya melarang dirinya melakukan itu. “Pikirkan bagaimana nasib bapak dan ibumu jika kau tetap melakukan itu”, begitu kira – kira suara itu berbicara. Ketika sampai di rumah, ibu Heru belum pulang dari berjualan gorengan.
***
“Ya ampun Heruuuu….Heruuuuu anakkuuuuu…..!. Ya Allah Gustiiiii……, apa yang kamu lakukan naaaaak…..!. Tolooooooong……toloooooong…… toloooooong……”. Ketika ibu pulang, dia mendapati Heru tengah tergantung kaku, masih dengan seragam putih birunya. Seutas tali jemuran yang terikat di ventilasi di atas pintu kamarnya, mencekik kuat leher Heru. Tubuhnya terbujur kaku dan dingin, matanya memutih dan lidahnya terjulur.
Para tetangga mulai berdatangan ketika ibu Heru menangis meronta – ronta di lantai. Dengan cepat mereka berusaha menurunkan Heru dari gantungan. Mereka kemudian mencoba memeriksa Heru, ternyata jantungnya masih berdenyut. Segeralah Heru dibawa ke rumah sakit, dengan harapan masih bisa diselamatkan.
***
Demi Tuhan, inikah wajah pendidikan negeri ini ?. Anak – anak yang semestinya memiliki hak menimba ilmu sebanyak – banyaknya, dipaksa ikut merasakan penderitaan orang tuanya akibat kemiskinan. Hal ini tidak seharusnya terjadi pada mereka, karena tidak semua anak memiliki mental yang kuat sehingga sanggup menanggung beban kemiskinan keluarga. Heru adalah contoh anak yang belum memiliki mental yang kuat dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Ketika dia merasa tidak sanggup lagi menerima ejekan dan cemoohan teman – temannya, maka dia pikir bunuh diri adalah satu – satunya jalan keluar yang masuk akal.
Beberapa bulan yang lalu, seorang tetangga Heru juga ditemukan gantung diri di rumahnya, karena dinyatakan tidak lulus UAN SMP, padahal dia termasuk anak pintar di sekolahnya. Mungkinkah Heru menjadikan tetangganya itu sebuah role model, sebuah contoh, sehingga dia menirunya ketika dirasa tidak sanggup lagi menerima pahitnya kenyataan hidup ?. Tugas Heru, dan juga anak – anak lain, hanyalah belajar, bukan yang lain. Kewajiban mereka hanyalah berangkat ke sekolah, menerima pelajaran dan berinteraksi dengan teman – teman. Mereka tidak boleh memikirkan berapa harga buku pelajaran yang harus mereka miliki, mereka tidak boleh tahu berapa harga bolpen dan pensil yang mereka pakai. Itu bukan tugas mereka, itu bukan kewajiban mereka, belum saatnya. Yang perlu mereka tahu adalah, dengan rajin belajar mereka akan menjadi orang pintar.
Sekolah gratis adalah gagasan yang brilian, namun bila pelaksanaannya tidak merata, dan masih ada oknum – oknum penjahat di sekolah yang menarik uang dengan dalih Iuran atau Sumbangan Pembangunan, atau Uang Pagar dan sejenisnya, maka berapa nyawa lagi yang harus hilang akibat menanggung biaya SPP. Berapa lagi anak – anak yang akan mengikuti jejak Heru, dan korban – korban lainnya. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.
***
Heru masih terpejam tak sadarkan diri. Semenjak diperiksa dokter tadi siang, belum ada perubahan apapun yang berarti. Kecemasan masih terlihat di wajah bapak dan ibu Heru. Mereka benar – benar tidak tahu apa yang harus diperbuat. Sudah dua hari Heru tak sadarkan diri di rumah sakit ini, sementara semakin lama dia di sini, akan semakin besar biaya yang harus ditanggung. Tunggakan SPP yang lebih dari lima bulan saja belum lagi terbayarkan, sekarang mereka mesti mencari uang untuk membiayai perawatan Heru. Dari mana mereka bisa mendapatkan uang itu. Benar – benar berat permasalahan yang tengah mereka hadapi, ketabahan dan kesabaran mereka sedang diuji. Namun yang terpenting bagi mereka adalah keselamatan Heru.
***
Pintu kamar Heru diketuk, seorang perempuan paruh baya yang tak dikenal datang menjenguk. Perempuan itu mengetahui kejadian yang dialami Heru dari tayangan televisi. Ya benar, kemarin bapak dan ibu Heru memang diwawancarai oleh beberapa stasiun televisi tentang kejadian ini, dan perempuan paruh baya itu adalah salah satu pemirsa yang tergerak hatinya untuk membantu meringankan beban orang tua Heru.
Ini adalah harapan. Bantuan yang mereka terima ini adalah harapan bahwa Heru akan sembuh. Ternyata, orang lain yang tidak mereka kenal pun merasa prihatin, dan dengan sukarela memberikan bantuan. Orang tua Heru tidak boleh putus asa dengan apa yang sedang mereka hadapi. Tetap berjuang demi hidup, berdoa dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan.
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin….., terima kasih Tuhan, terima kasih atas rezeki yang Engkau limpahkan untuk kami. Berikan kesembuhan bagi Heru putra kami. Bimbinglah dia kepada masa depan yang lebih baik, wujudkan apa yang menjadi cita – citanya. Amien”, ibu Heru memanjatkan doanya.
***
Semua ini bukanlah salah siapa – siapa. Bukan salah Heru, Heru hanyalah korban keadaan. Orang tua Heru tidak bisa disalahkan karena hidup dalam kemiskinan. Sekolah juga tidak bisa disalahkan karena menetapkan SPP yang tidak mampu dibayar oleh orang tua Heru. Lalu, apakah pantas menjatuhkan vonis bersalah kepada teman – teman yang mengejek Heru, yang notabene mereka hanyalah anak – anak yang baru beranjak remaja, yang masih labil dan belum bisa memilah dan mengontrol ucapan – ucapan yang boleh dan tidak boleh diucapkan kepada orang lain secara dewasa.
***
Mata Heru terbuka ketika sinar mentari menembus jendela Rumah Sakit, lembut menyentuh kelopak matanya. Tangannya bergerak – gerak, detak jantungnya mulai stabil, mulutnya mulai berusaha bersuara. Horee, Heru telah kembali !. Terpancar kebahagiaan tiada tara di wajah orang tuanya. Di ruang perawatan ini, telah berkumpul teman – teman Heru, termasuk mereka yang selama ini mencemooh dirinya. Dengan ditemani Bapak Kepala Sekolah, mereka ingin menjenguk Heru, dan sekaligus meminta maaf atas perbuatan mereka selama ini. Ya, namanya juga anak remaja, masih perlu banyak bimbingan agar terhindar dari perbuatan – perbuatan buruk, dan lebih memilih melakukan hal – hal yang benar.
Semoga ini bisa menjadi suntikan motivasi baru bagi Heru dalam menjalani hari – harinya sebagai seorang pelajar. Semoga saja tidak ada dendam di dada Heru kepada teman – temannya itu. Dan semoga dia bisa belajar, bahwa apa yang telah dilakukannya itu adalah perbuatan yang salah. Semoga di masa yang akan datang, pendidikan dan perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih baik, sehingga tidak perlu lagi terjadi peristiwa seperti ini. Semoga tidak ada Heru – Heru lain yang menjadi korban.
Ayo Heru, bersemangatlah !. Sejuta impian menantimu !. Berkaryalah !. Raih cita – citamu demi masa depan yang lebih baik, seperti harapan orang tuamu, dan juga harapan para orang tua yang menginginkan anak – anaknya bersekolah sampai ke jenjang yang paling tinggi !. Kamu adalah harapan bangsa. Generasimu adalah generasi penerus bangsa !. Songsong hari esok yang cerah, secerah berkas cahaya pagi.

SELESAI