NEGERI TANPA SENYUM


Cerpen Arswendo Wirawan.
Dimuat di harian Solopos Minggu, 20 Desember 2009

Sekilas, wajah – wajah ini tidak berbeda dengan wajah – wajah lain. Bentuknya yang beberapa lonjong, beberapa persegi dan beberapa bulat. Sebagian beralis tebal dan sebagian lagi tipis. Ada yang berkumis, yang berjenggot pun ada. Beberapa berpipi tembem dan beberapa berpipi kempot. Mata besar, mata sipit, mata biru, dan mata hitam. Sebagian memiliki hidung pesek, sebagian lagi mancung, serta beberapa bulat. Mulut – mulut mereka pun tidak berbeda dengan manusia lain di dunia ini. Ada yang berbibir tebal, ada juga yang tipis, ada yang tebal di atas, ada yang tebal di bawah. Sama sekali tidak ada perbedaan – perbedaan yang berarti.
Namun, ketika kemudian aku mendekat dan bercengkerama dengan mereka, baru kusadari, wajah – wajah ini memang berbeda. Wajah – wajah ini begitu kuat karakternya. Biasanya, orang – orang dengan wajah seperti ini memiliki karakter yang khas. Jika dia periang, maka wajahnya terlihat ceria dan membuat orang lain merasakan keriaan yang dia rasakan. Orang yang selalu menangis, entah karena bahagia atau sedih, memiliki wajah yang sendu dengan kelopak mata yang hampir menutupi mata. Jika seseorang itu pemarah, maka wajah – wajah seperti inilah yang akan kita temui, garang, tidak ramah, menatap dengan tajam, bibir terkatup rapat, geraham atas dan bawah saling menggigit – gigit sehingga dari luar terlihat tonjolan otot – otot pipi, mempertegas sifat orang tersebut.
Terus terang, melihat wajah – wajah seperti ini selalu membuatku begidik, apalagi jika harus berurusan dengan mereka. Bagiku, wajah – wajah seperti ini akan selalu siap membunuhku dengan sadis dan tanpa ampun, namun dilakukan dengan tenang, sehingga seolah – olah tidak ada penyesalan atas apa yang baru saja dilakukan, lalu meninggalkanku begitu saja di semak – semak kehabisan darah.
Namun ternyata aku salah. Orang – orang ini tidak segarang yang kubayangkan, mereka tidak sekejam yang kutakutkan. Justru sebaliknya, mereka orang – orang yang ramah, baik, dan selalu menyambut tamu – tamu mereka dengan hangat. Seperti yang kualami ini, dalam perjalanan panjangku berkelana, aku harus singgah di negeri orang – orang berwajah seram ini untuk beristirahat. Secangkir kopi panas dan beberapa potong gorengan di warung tegal menambah kehangatan yang mereka ciptakan. Awalnya aku heran dengan apa yang kulihat, karena ini benar – benar pertama kali aku alami, sesuatu yang absurd dan khayali, sesuatu yang tidak masuk akal, namun nyata terjadi di depan mata. Bukan sihir bukan sulap, bukan mimpi bukan khayalan.
Wajah – wajah ini tersenyum, namun tidak seperti biasanya orang tersenyum. Wajah – wajah ini tertawa, namun mulut mereka tidak selayaknya orang tertawa. Memang terdengar suara mereka sedang tertawa, namun ekspresi mereka tidak sewajarnya orang yang sedang tertawa. Bagaimana mungkin ini terjadi ?. Aku ingin ikut tertawa tentang gurauan – gurauan yang mereka lontarkan, namun aku tidak bisa. Aku masih merasa aneh dengan apa yang kulihat.
Rupanya reaksiku itu membuat mereka berhenti tertawa. Timbul suasana canggung yang tidak nyaman. Aku merasa tidak enak, seharusnya aku ikut tertawa atas gurauan mereka tadi.
“Saya minta maaf bapak – bapak…..”, ucapku kemudian.
“Tidak perlu minta maaf nak, ini sudah sering terjadi. Ketika para perantau mampir beristirahat dalam perjalanan mereka, mereka selalu menunjukkan wajah aneh di depan kami, layaknya kami ini orang – orang aneh. Yah, memang kami aneh, tapi inilah kami. Kami tidak tahu apakah ini kutukan. Yang kami tahu Tuhan tidak pernah menciptakan makhluknya dengan sia – sia, pasti ada penjelasan mengapa Tuhan menciptakan kami seperti ini”.
“Maaf, apakah orang tua serta kakek dan nenek bapak juga seperti ini ?. Emm…maksud saya…”.
“Ya…”, ucapanku terpotong. “Semenjak dikenal peradaban manusia, kami memang seperti ini. Turun – temurun kami tidak pernah keluar dari negeri ini, karena kami pasti akan jadi bahan guyonan dan ejekan. Kami tidak menyesali keadaan kami. Kami tidak kecewa karena tidak leluasa bergaul dengan dunia luar”.
“Kalau saya boleh tahu, adakah cerita dari orang tua bapak – bapak sekalian, yang menyebutkan penyebab keadaan ini ?”, tanyaku lagi.
“Ya, memang ada penyebabnya. Konon, negeri kami dahulu kala adalah negeri yang sejahtera, penduduknya selalu bahagia, hidup tenteram, saling mencintai satu sama lain dan tidak ada kekurangan sesuatu apapun. Namun tak disangka – sangka, kebahagiaan itu rupanya menyimpan bom waktu tersembunyi yang tidak bisa dijinakkan lagi. Kebahagiaan itu telah dikotori ulah orang – orang penting yang seharusnya melindungi mereka, menyediakan keadilan bagi mereka, dan menjadi pengemban amanat mereka. Rakyat menyimpan kekecewaan yang teramat besar atas tindak penyelewengan dan kecurangan yang dilakukan orang – orang penting itu. Harapan besar yang disandarkan ternyata tidak dijaga sebagaimana mestinya. Menelikung hak rakyat, bermain mata dengan orang – orang berduit, dan yang terparah, bermain Kethoprak dengan lakon “Gĕgĕr Cicak lan Boyo”, sebuah usaha saling meniadakan demi tujuan yang mencurigakan, sementara “Sang Sutradara” tertawa ngakak menyaksikan itu semua, dari negeri ‘Entah Dimana’.
Dan terjadi percobaan intimidasi terhadap suara massa, sebuah wawancara omong kosong yang sepertinya hanya bertujuan mengolok – olok, dan tidak mengandung esensi apapun. Reaksi yang tidak sigap terhadap permasalahan – permasalahan itu menambah kekecewaan rakyat. Penyelewengan dan penyalahgunaan yang semakin sering terjadi dan membukit, telah menguras habis kesabaran rakyat, dan akhirnya tidak bisa tertahan lagi. Satu per satu muncul aksi – aksi ketidakpuasan, terjadi konflik di mana – mana, perang saudara semakin meluas, nyawa – nyawa dihabisi, darah – darah berceceran, kekerasan digunakan sebagai sarana legalitas mengekspresikan perasaan yang terpasung. Tidak peduli anak tidak peduli bapak, jika hati menjadi lega maka membunuh adalah hak asasi. Perbedaan pendapat berarti musuh, dan musuh harus dipenggal. Kebakaran, bom, desing mesiu, dan pedang beradu, sudah menjadi sarapan pagi.
Intinya, negeri kami ini benar – benar berkabung. Bapak mati, ibu mati, anak mati, saudara mati. Yang tersisa hanyalah air mata, duka dan kesedihan. Kabarnya, keadaan ini berlangsung hampir selama – lamanya, tahun berganti tahun, abad berganti abad. Tidak pernah lagi terdengar tawa bahagia, tidak pernah lagi terlihat senyum gembira, tidak ada lagi dendang ceria, tidak ada lagi puisi cinta. Yang ada hanya wajah – wajah seperti kami ini. Mereka tidak peduli apakah matahari sedang terbit atau tenggelam, mereka tidak peduli hujan sedang turun, bulan sedang purnama, bintang kerlap – kerlip, pelangi sedang melengkung. Begitu nelangsanya jiwa mereka sehingga tidak mampu merasakan keindahan – keindahan yang masih muncul di negeri yang merintih ini. Hingga keadaan negeri yang semakin membaik pun tidak bisa menghapus duka yang telah terpatri itu. Barangkali kenangan kelabu itu tidak akan pernah terkelupas, mendarah daging, hingga terwarisi pada generasi – generasi di bawah mereka, termasuk kami sekarang ini”, sang bapak menjelaskan.
“Tapi bapak, bukankah masa itu telah terlalu lama berlalu, beratus – ratus tahun yang lalu, negeri bapak ini pun saya lihat sekarang sangat subur dan makmur, kehidupan di kota juga semarak dan meriah, bahkan saya mendengar musik ceria di pintu gerbang negeri ini……”.
“Yah memang benar, walaupun kami tidak pernah merasakan kepedihan masa lalu itu, tapi keadaan kami ini seolah – olah menjadi gen turun – temurun, agar kami selalu teringat penderitaan yang nenek moyang kami pernah alami dulu, masa – masa kelam negeri ini. Kami berharap hal seperti ini tidak terjadi lagi di negeri kami ini”.
Kini aku mengerti, penderitaan para leluhurlah yang menyebabkan keadaan ini. Tentunya terlintas di benak mereka, seandainya peristiwa masa lalu itu tidak pernah terjadi. Seandainya orang – orang penting itu tidak melakukan perbuatan – perbuatan itu, sehingga membuat perjalanan sejarah menjadi seperti ini ?. Atau mereka tidak perlu menyalahkan nenek moyang, namun sebaliknya, mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita masa lalu itu ?.

Selesai
Semarang, 19 November 2009