WASTE TO ENERGY, SOLUSI PROBLEM SAMPAH


Dimuat di harian Suara Merdeka, Senin 14 Juni 2010

DI belahan bumi mana pun, sampah selalu jadi permasalahan menjengkelkan. Makin banyak manusia, tumpukan sampah pun meningkat. Muncul permasalahan seperti polusi udara, banjir, tempat pembuangan akhir (TPA) yang kehabisan masa sewa, hingga yang ekstrem seperti bencana longsor TPA Leuwigajah Cimahi pada 21 Februari 2005 yang memakan puluhan korban jiwa. Berbagai upaya dan teknologi telah dilakukan untuk meminimalisasi problem sampah. Namun belum ada yang benar-benar menyelesaikan secara tuntas.
Insinerasi Waste to energy merupakan teknologi yang mengolah sampah menjadi energi listrik lewat proses insinerasi atau pemusnahan sampah lewat pembakaran. Insinerasi disertai pemulihan energi agar memenuhi standar emisi.

Di Jepang, Amerika Serikat (AS), Jerman, dan banyak negara lain sudah dibangun ratusan instalasi waste to energy. Sebagai contoh, China memiliki 50 instalasi yang berjarak hanya ratusan kilometer dari permukiman penduduk, AS memiliki 90 instalasi yang mengolah 14% sampah negara itu, Prancis bahkan memiliki 130 instalasi. Bagaimana dengan Indonesia?

Insinerasi merupakan proses pembakaran material sampah. Diawali penirisan sampah basah di dalam bunker selama beberapa hari. Setelah kandungan air berkurang sekitar 45%, sampah dicacah dan dibakar dalam tungku dengan suhu 900 derajat Celcius. Energi panas yang dihasilkan dari pembakaran digunakan memanaskan air dalam boiler, yang kemudian mengubah air jadi uap.

Tenaga uap yang dihasilkan akan memutar turbin dan generator, sehingga menghasilkan energi listrik. Uap yang melewati turbin akan kehilangan panas dan disalurkan ke boiler lagi untuk dipanaskan. Proses itu berlangsung berulang-ulang.
Beremisi Rendah Mesin insinerator mampu menekan volume material sampah hingga 96% dan beremisi rendah. Namun masih ada kekhawatiran akan terjadi hujan asam serta kerusakan sumber daya lingkungan akibat proses pembakaran. Permasalahan itu diantisipasi dengan memakai batu kapur pada cerobong asap. Batu kapur menetralisasi kandungan asam pada limbah asap, mencegah agar tak mencapai atmosfer, sehingga tak membahayakan lingkungan.
Limbah insinerasi terbagi menjadi lindi (air kotor) dan bau (NH3-N dan H2S) yang dihasilkan pada awal proses penirisan sampah. Limbah lain adalah abu (bottom ash), debu terbang (fly ash), dan gas buang yang dihasilkan selama pembakaran.

Muncul kekhawatiran akan terbentuk racun dioksin penyebab kanker dan penurunan kecerdasan. Namun itu tak terjadi karena dioksin terurai pada suhu 850-900 derajat Celsius dalam waktu kurang dari dua detik. Dioksin beracun justru dihasilkan dari pembakaran tak sempurna sampah rumah tangga, karena temperaturnya kurang dari 850 derajat Celsius.

Limbah bau (NH3-N dan H2S) dan gas metana dari proses pembusukan selama sampah ditiriskan akan disalurkan ke ruang bakar (tungku) sehingga gas terbakar dan terurai. Jadi tak ada bau yang dilepas ke udara. Adapun kandungan logam dalam abu hasil pembakaran didaur ulang menjadi bahan pembuatan semen, aspal, dan bahan lain. Karena itulah teknologi waste to energy diklaim menghasilkan polutan 2.500 kali lebih bersih ketimbang asap sebatang rokok.

Energi listrik yang dihasilkan dari proses insinerasi didistribusikan ke permukiman dan industri. Sebagai gambaran, 1 ton sampah menghasilkan listrik 525 kWh. Di Jerman, proses insinerasi mampu memproduksi 70 MW, dari 675.000 metrik ton sampah per tahun, dengan efisiensi bahan bakar hingga 90%. Di Cleveland, AS, program waste to energy yang dirancang diharapkan bisa memenuhi 6% dari 350.000 MW kebutuhan listrik penduduk per minggu.
Awalnya tujuan utama konsep waste to energy bukan produksi energi listrik, melainkan lebih ke upaya meminimalisasi problem sampah yang selama ini dilematis. Namun bagi bangsa Indonesia, sampah dan listrik merupakan dua persoalan besar yang vital dan mendesak.
Di Indonesia Tak berbeda dari negara lain, Indonesia pun ingin terbebas dari problem sampah yang makin rumit. Berbagai musibah yang terjadi menuntut pemecahan, antara lain dengan merancang strategi pengolahan sampah menjadi energi lewat pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS).
TPA Suwung Bali adalah instalasi pertama di Indonesia yang telah mengadopsi teknologi waste to energy sejak 12 Desember 2008. Disusul Bantar Gebang Bekasi yang direncanakan Juni tahun ini.

PLTS Suwung Bali tak melakukan insinerasi atau pembakaran sampah untuk memanaskan boiler, tetapi dengan metode gasifikasi yang terdiri atas tiga proses, yaitu gasification, landfill gas, dan anaerobic digestion. Sampah baru yang kering seperti plastik, kaca, besi, dan bekas bangunan masuk pada proses gasifikasi atau pyrolysis, yaitu pemanasan bersuhu tinggi tanpa oksigen. Landfill gas dilengkapi instalasi khusus pengolahan air sampah, diperuntukkan bagi gunungan sampah lama. Anaerobic digestion adalah penghancuran dengan mikroorganisme untuk sampah organik baru semacam kayu, daun, dan kertas. Proses itu menghasilkan biogas dan kompos. PLTS itu menerima 800 ton sampah per hari dari Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, dan menghasilkan listrik 10 MW.

Sebagai gambaran, proses awal gasifikasi adalah menuang sampah ke beberapa conveyor belt sehingga menghasilkan sampah organik saja. Lalu, sampah organik ditimbun dan ditutup sehingga gas metana (CH4) tidak lepas ke udara. Gas metana disedot dan dimasukkan ke mesin gas sehingga menyisakan solid. Selanjutnya dilakukan proses gasifikasi dan hasilnya untuk memanasi boiler sehingga memperoleh uap yang akan menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. Sisa sampah yang tak digunakan dalam proses, dijemur dan dijadikan kompos, sehingga tak ada sampah tersisa