(SUARA MERDEKA) PERTAMA DI ASEAN, RADAR PENDETEKSI BENCANA
Dimuat di Harian Suara Merdeka, 9 April 2012
Tanggal 12 Maret 2012 lalu, Indonesia meluncurkan teknologi pendeteksi bencana bernama Multi Parameter Radar (MPR). Radar ini berfungsi mengetahui curah hujan untuk mengantisipasi cuaca ekstrim. MPR merupakan hasil kerjasama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Japan Agency for Marine Earth Science and Technology (Jamstec).
Multi Parameter Radar
Baru tiga negara di dunia yang memiliki teknologi ini, yaitu Indonesia, Jepang dan Amerika Serikat. Peneliti utama BPPT Fadly Syamsudin mengutarakan, Indonesia merupakan negara pertama di ASEAN, yang memiliki piranti dengan kemampuan memberikan peringatan dini bila terjadi bencana ini. MPR bisa dipindah – pindah menggunakan mobil sesuai kebutuhan, ke lokasi - lokasi rawan bencana.
Teknologi baru buatan Jerman ini sangat membantu dalam perekaman data cuaca, yang meliputi kecepatan angin, partikel hujan, suhu, tekanan, abu vulkanik, bahkan asap kebakaran hutan sampai jarak 200 kilometer. Multi Parameter Radar menggunakan frekuensi X – band, dengan resolusi tinggi dan jangkauan 500 kilometer. Radar ini juga dilengkapi Global Positioning System (GPS), menggunakan mesin genset berkekuatan 12 KVA.
Parameter yang dibutuhkan MPR adalah angin dan curah hujan. Dari dua parameter itu bisa diperoleh empat atau lima data, guna memprediksi apa yang akan terjadi di waktu mendatang. Termasuk bagaimana siklus hujan berulang, kekuatan hujan, dan material hujan. Sehingga siklus banjir dan kekeringan yang kerap terjadi di negeri ini, bisa dihindari. Piranti ini penting bagi Indonesia yang cuacanya bersifat lokal, cepat berubah dan ekstrim.
Alat yang dibuat dengan dana Rp. 10 miliar ini, didesain untuk mengobservasi awan dan curah hujan jangka pendek. Radar yang digunakan, mampu melakukan transmisi dua tipe gelombang radio, yaitu polarisasi vertikal dan horisontal. Ketika gelombang radio menyentuh hujan yang sedang turun, sinyalnya akan direfleksikan kembali ke radar. Berbagai parameter bisa diperoleh dari sinyal tersebut.
Alat yang dihibahkan Jepang kepada Indonesia ini, juga mampu melakukan estimasi kuantitatif yang akurat terhadap curah hujan. Seperti diketahui, parameter polarisasi erat kaitannya dengan bentuk hujan dan distribusi ukuran hujan yang turun. Bentuk hujan berubah dari bulat menjadi datar, seiring meningkatnya intensitas curah hujan.
Resolusi spasial yang dihasilkan dari observasi menggunakan Multi Parameter Radar pun cukup besar, yaitu 100 meter. Resolusi besar berfungsi memvalidasi data kasar yang diambil dari satelit. Resolusi ini memungkinkan pula diperolehnya informasi distribusi curah hujan yang lebih mendetil, demi mencegah bencana banjir, angin puting beliung dan tanah longsor.
Pimpinan proyek Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS), Profesor Manabu Yamanaka menuturkan, di Jepang alat yang digunakan untuk operasional riset ini, baru dibuat tiga buah dengan harga dua kali lipat dari buatan Jerman. Teknologinya pun lebih aktual dan kompleks.
INA Triton Buoy
MPR diluncurkan bersama INA Triton Buoy, piranti yang bentuknya mirip pelampung. Alat ini berfungsi memantau perubahan unsur iklim cuaca di atas dan bawah laut, seperti suhu, tekanan, salinitas, gerakan arus dan unsur lainnya. Buoy ini memiliki jangkauan di atas laut sampai sepuluh meter, dan bawah laut sampai lima ratus meter.
INA Triton Buoy juga dibutuhkan untuk alasan semakin bergesernya kolam panas bersuhu 30 derajat Celcius, seluas Benua Australia di Samudera Pasifik. Pergeseran ini sangat berpengaruh pada iklim bumi. Lebih lanjut Fadly Syamsudin mengatakan, dengan memasang pelampung yang harganya Rp 1 miliar ini, berarti Indonesia turut andil dalam komunitas Global Earth Observation System of Systems (GEOSS).
Alat ini akan dipasang pada nol derajat lintang (ekuator) dan 138 derajat bujur timur, di perairan Pasifik dekat Papua, pada Juni 2012 nanti. Amerika Serikat dan Jepang pun telah memasang sejumlah buoy pemantau iklim, di berbagai titik di lautan Pasifik Barat sampai Timur. Berbeda dengan Multi Parameter Radar, INA Triton buoy dibuat di Indonesia oleh BPPT. Sebelumnya, lembaga ini telah beberapa kali membuat pelampung sistem peringatan dini tsunami, yang formatnya tak banyak berbeda dengan INA Triton.
Workshop
Kepala BPPT Marzan A. Iskandar mengungkapkan, peluncuran MPR dan Triton Buoy juga disertai workshop, yang tujuannya memberikan manfaat bagi Indonesia dan Jepang, dengan cara yang lebih konstruktif. Dirinya menambahkan, lewat peluncuran ini diharapkan BPPT dapat mengeksplorasi jaringan untuk kepentingan sosial, yang memberikan manfaat lebih bagi masyarakat.
Sementara Menteri Negara Riset dan Teknologi, Gusti Muhammad Hatta berharap, melalui kemitraan ini kedua negara dapat mengembangkan Pusat Benua Maritim of Excellence di Indonesia, guna mendukung program penguatan Sistem Inovasi Nasional. Program ini akan dijalankan bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Langganan:
Postingan (Atom)