JANGAN KUCILKAN PENDERITA KUSTA


Peraih Piagam Penghargaan Dumalana Writing Competition 2012

25 Januari menjadi tanggal yang penuh harapan. Pasalnya, penderita kusta di seluruh dunia memperingati tanggal ini sebagai Hari Kusta Internasional. Peringatan ini menjadi tanda bahwa mereka tak sendiri. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selalu melakukan upaya mengeliminasi penyakit menular ini, kendati hasilnya belum memuaskan.

Kusta dianggap penyakit kronis, sebab pengidapnya tak hanya menderita fisik, namun juga psikologis. Mereka selalu mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Penyakit yang juga dikenal dengan ‘lepra’ ini dianggap kutukan, sebab seringkali mengakibatkan cacat fisik berupa wajah dan kulit yang terlihat buruk, mata tak bisa menutup karena syaraf yang terganggu, jari tangan atau kaki bengkok, serta luka pada telapak tangan dan kaki akibat mati rasa.

Tak pelak, mereka pun dikucilkan dan dicemooh, bahkan oleh anggota keluarga sendiri. Mereka juga diasingkan, sehingga muncul ‘Kampung Kusta’, kampung yang sebagian besar penghuninya mengidap kusta.

Banyak penderita kusta yang tak bisa berkembang, termarjinalkan secara sosial, dan terpasung secara ekonomi. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari pun mereka sulit. Bahkan mereka yang telah dinyatakan sembuh, tak lantas terbebas dari stigma tersebut.

Kusta Masih Ada
Masyarakat umum mengenal kusta dari cerita orang tua atau nenek mereka, sebagai penyakit zaman dulu, dan sekarang telah punah. Namun fakta berbicara lain. Ternyata, kusta masih ada di negeri ini, dan jumlah penderitanya pun sangat mengejutkan. Berdasarkan data yang dirilis program ‘Pengendalian Penyakit Kusta Nasional’ tahun 2011, sekitar 17.000 - 18.000 kasus kusta baru, muncul tiap tahunnya, dan 30 % ada di Jawa Timur.

Indonesia bahkan menempati peringkat tiga dunia pengidap kusta terbanyak, setelah India dan Brasil. Dr. AB. Susanto SE, MA. sebagai Dewan Pembina Kehormatan Yayasan Transformasi Lepra Indonesia (YTLI) menyampaikan, jumlah penderita kusta di seluruh dunia dari tahun ke tahun mengalami penurunan, namun di Indonesia justru cenderung naik.

Ini kenyataan yang mengkhawatirkan. Jika angka tersebut semakin bertambah tiap tahunnya, bukan mustahil jika stigma serta perlakuan diskriminatif yang dialami penderita kusta akan terus terjadi. Selamanya mereka akan dicaci, diabaikan, dihindari dan dianggap menjijikkan.

Maka perlu diberikan pemahaman lengkap kepada masyarakat luas, tentang apa dan bagaimana penyakit yang juga dikenal dengan sebutan penyakit Hansen (Morbus Hansen) ini. Masyarakat perlu tahu, kusta bahkan tidak lebih menular dibanding HIV AIDS atau Flu Burung.

Menurut beberapa penelitian, penularan kusta terjadi lewat kontak langsung dengan penderita, dan juga lewat udara. Namun, tak semua orang sehat yang bersentuhan dengan pengidap kusta akan langsung tertular, asalkan kekebalan tubuhnya tinggi. Masyarakat juga perlu memahami, dengan pengobatan teratur, kusta bisa disembuhkan dalam waktu enam bulan hingga satu tahun.

Upaya Menghadapi
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan demi menekan penularan penyakit kusta. Jika menilik pada data yang tertera di atas, maka peran aktif dan kerjasama masyarakat mutlak diperlukan. Dan upaya ini pun harus melalui komando pemerintah, agar terorganisir, terarah dan efektif.

Namun masyarakat jangan terlalu bergantung pada pemerintah. Sudah saatnya rakyat mulai bertindak kreatif. Kemandirian nasional akan terwujud jika diawali dengan kemandirian rakyat. Bukankah kita ingin tumbuh menjadi negara mandiri ?. Inilah yang dimaksud ‘peran aktif’ masyarakat.

Dalam pengendalian kusta, peran aktif masyarakat bisa berupa kesadaran diri untuk peduli dan memberikan perhatian serius terhadap penyakit kusta. Kepedulian bisa diwujudkan dalam bentuk meluangkan waktu mempelajari penyakit ini, sehingga nantinya diharapkan masyarakat menjadi lebih bijaksana bersikap terhadap kusta dan pengidapnya.

Satu hal yang hendaknya dipahami adalah, kecenderungan peningkatan kasus kusta di tanah air sangat dipengaruhi kondisi ekonomi masyarakat yang kian memburuk. Sebagai perbandingan, di Eropa, kusta tak lagi ditemukan setelah kondisi ekonomi masyarakatnya membaik. Kondisi ekonomi yang baik, membuat masyarakat sehat. Dan seseorang yang sehat takkan mudah tertular.

Sedangkan kondisi ekonomi yang buruk menyebabkan seseorang sulit hidup sehat, dia akan tinggal di lingkungan yang buruk sanitasinya, air yang tak bersih dan konsumsi gizi harian yang tak mencukupi. Apalagi jika kondisi seperti itu dialami balita. Buruknya kondisi kesehatan tak lepas kaitannya dengan kemiskinan. Karenanya, upaya pemberantasan kusta harus diawali dengan pemberantasan kemiskinan.

Upaya lain yang juga penting dilakukan adalah bagaimana menekankan pada masyarakat umum, kusta bukanlah kutukan atau hukuman atas dosa yang dilakukan. Kusta bukanlah penyakit genetis atau turunan.

Perlu dilakukan penyebaran informasi atau kampanye, bahwa kusta bisa disembuhkan dan mantan pengidapnya harus diterima di masyarakat dan diperlakukan layaknya manusia. Mereka berhak atas kehidupan normal, berekspresi, beraktivitas, berkarya dan bersosialisasi dengan manusia lain sebagaimana semestinya. Mereka perlu dibimbing agar mandiri.

Peran media juga dibutuhkan untuk menunjukkan pada khalayak, kusta bukanlah kartu mati, kusta tidak berarti kiamat. Mereka yang telah sembuh harus semakin banyak dimunculkan ke publik, untuk membuktikan dan memberikan kesaksian, bahwa mereka bisa menjadi orang sukses walau pernah menderita kusta.

Selain itu, perlu pula diadakan pelatihan intensif bagi petugas yang melakukan pendataan kusta di lingkungan warga, sehingga perawatan dini bisa dilakukan. Selanjutnya, penderita harus diberikan bimbingan dan pendampingan agar tertib meminum obat Multi Drug Therapy (MDT), yang bisa diperoleh gratis di Puskesmas.

Maka, kesadaran dan semangat penderita pun perlu terus ditumbuhkan. Mereka perlu diberi pengertian, dengan disiplin berobat, mereka pasti akan sembuh. Dengan demikian, kusta takkan lagi hidup di negeri ini, seperti harapan kita semua.