Sesuai janji yang disampaikan penulisnya di awal-awal halaman, bahwa novel ini akan disajikan dengan cara yang berbeda. Maka faktanya novel ‘Hijrah Bang Tato’ ini memang disajikan dengan cara yang tidak sama dengan novel-novel lain.
Dituturkan
dengan point of view orang pertama yang bercerita tentang tokoh utama. Jadi
seolah ada dua tokoh yang posisinya sama-sama sebagai tokoh utama. Ini teknik
yang tak banyak orang gunakan dalam menulis novel.
Tapi
Fahd Pahdepie putuskan untuk gunakan teknik ini, dan terbukti dia berhasil
mengeksekusinya dengan mulus dan rapi. Sehingga sebagai pembaca, saya rasakan
nuansa segar dan berbeda saat baca novel ini.
Dalam
teori menulis novel ada yang namanya deskripsi setting dan penokohan yang
mendetil. Tapi dalam novel ini hal itu tak dibutuhkan. Sebab tanpa deskripsi detil
dan panjang pun, novel ini sudah cukup renyah untuk dikunyah.
Dari
awal hingga akhir, novel ini lumayan padat dengan cerita utama. Tak ada digresi,
sebab itu juga tak dibutuhkan. Tak perlu sup, tak perlu salad. Sejak awal
pembaca akan langsung disuguhi well-done steak berisi kisah hijrahnya Lalan
Tato.
Bagaimana
awal mula penulis berkenalan dengan Tato yang waktu itu sedang butuh pekerjaan.
Bagaimana awalnya Tato dapatkan kekerasan fisik di pesantren kala remaja. Bagaimana
nasibnya setelah kabur dari pesantren dan hidup di jalanan yang liar.
Bagaimana
dia kuasai area Rumpin sehingga semua pemilik toko takluk padanya. Bagaimana
tersiksanya dia saat dapatkan hidayah untuk taubat. Bagaimana hidupnya justru
jadi miskin setelah taubat. Serta bagaimana pelan-pelan dia mulai wujudkan mimpi-mimpi
besarnya.
Di
balik semua kelebihan itu, novel ini juga memiliki secuil kekurangan di bagian
epilog. Ini berhubungan dengan siapa target pembaca novel ini. Jika penulis
menargetkan kalangan pembaca yang luas, maka tema yang dibahas di bagian epilog,
saya rasakan terlalu berat.
Jadi
agak mengejutkan, karena setelah kenyang dan puas melahap steak, pembaca bukannya
disuguhi es krim atau jus, tapi malah mendapatkan nasi padang. Terlalu berat
untuk kalangan pembaca yang tingkat pendidikannya tidak tinggi. Tapi itu bukan
masalah besar.
Sebab
seperti yang saya sampaikan tadi, itu semua tertutupi dengan lezatnya well-done
steak yang disuguhkan sejak awal hingga akhir. Sehingga yang melekat di benak
pembaca adalah kisah hidup Lalan Tato. Pada akhirnya misi novel ini pun tersampaikan
dengan baik.
Well
done Fahd Pahdepie.
Well done Bang Tato
Well done Bang Tato
Tidak ada komentar:
Posting Komentar