"LASKAR PELANGI" A LA ADNAN KATINO
Resensi Novel. Dimuat di harian Suara Merdeka, 31 Mei 2009
Judul : Menggapai Matahari, Perjalanan Panjang Menjemput Asa
Pengarang : Adnan Katino
Tahun : Juni, 2008
Penerbit : Hikam Pustaka, Yogyakarta
Halaman : 392 halaman
NOVEL ini memiliki tema dan pelajaran hidup yang hampir mirip dengan novel Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi. Sangat inspiratif dan luar biasa. Sebagai pengarang, Adnan Katino mencoba menyampaikan pesan, berbagai penderitaan dan kesengsaraan hidup pasti mampu diselesaikan, jika kita tetap tawakkal, bersabar, berdoa, terus berjuang dan berusaha, demi mewujudkan keinginan untuk keluar dari penderitaan. Selain itu, sebuah tekad yang sudah bulat dan kuat terpatri di dalam dada, tidak akan pernah bisa dihancurkan dan dihalangi oleh apa pun. Termasuk oleh kondisi kemiskinan dan kekurangan. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan yang mantap bahwa Allah pasti akan membantu mewujudkan tekad itu.
Ceritanya diawali dengan latar kehidupan sebuah keluarga miskin di pedalaman hutan Sumatra Utara. Seorang bayi yang kemudian diberi nama Adnan, lahir tanpa disaksikan oleh ayah tercintanya. Ya, ketika itu Kamirun, ayah Adnan, sedang bekerja sebagai buruh panen padi di dusun sebelah, yang jaraknya sekitar satu hari berjalan kaki. Umi, ibundanya, ketika melahirkan Adnan pun, tidak ada yang membantu. Sebab saat itu Ani, kakak tertua Adnan, sedang mencari bantuan tetangga terdekat yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Kedua kakak Adnan di rumah pun tidak mampu berbuat apa – apa karena masih balita.
Ketika pulang bersama Nenek Sapari, Ani mendapati ibundanya sedang kepayahan mengerahkan tenaga yang tersisa. Merebus air untuk membersihkan darah – darah di tubuh Adnan mungil dengan air hangat. Padahal, dia baru saja melahirkan, tentu terbayang di benak kita betapa besar tenaga yang dibutuhkan untuk sebuah persalinan.
Gambaran keharuan semacam itulah yang akan mampu menggugah empati pembaca. Kita pun akan memutuskan untuk tidak berhenti membacanya sampai halaman terakhir. Sebab, apa yang diceritakan pada halaman – halaman awal, masih akan terus berlanjut pada halaman – halaman berikutnya.
Pada bab - bab selanjutnya diceritakan masa kanak – kanak Adnan yang dititipkan oleh orang tuanya kepada kerabat yang kaya. Sebab, orang tua dan kakak – kakaknya mesti pindah mencari ladang garapan baru yang lebih menghasilkan. Itu karena sawah yang mereka garap sekarang hasilnya masih belum mampu mencukupi kebutuhan sehari – hari. Apalagi melunasi utang – utang yang makin menumpuk. Di dalam keluarga itu Adnan tidak dianggap sebagai layaknya kerabat. Dia diperlakukan kasar dan mengalami penderitaan demi penderitaan akibat tugas – tugas harian yang diberikan pamannya, yang terlalu berat dilakukan oleh bocah seumur Adnan kala itu. Tiap pagi sebelum berangkat sekolah dia diharuskan membersihkan halaman, lalu mencari talas di sawah pinggir hutan sebagai bahan pakan itik. Tidak berhenti sampai di situ, dia pun diharuskan memasak dan mengolah talas itu menjadi pakan itik. Jadilah setiap pagi dia terlambat masuk sekolah.
Itu hanyalah sebagian kecil dari potret perjuangan dan keharuan panjang dari seorang Adnan Katino untuk menggapai matahari. Berawal pada suatu malam ketika di rumah seorang warga yang baru saja membeli sebuah televisi, para warga berdatangan untuk mencari tahu seperti apa sih bentuk televisi itu. Terutama Adnan kecil yang begitu terkesima terhadap sebuah kotak yang mampu mengeluarkan gambar dan suara itu. Terlebih lagi ketika acaranya menyiarkan film yang bercerita tentang perjuangan seorang anak desa, yang bercita – cita mencari kesuksesan di Jakarta. Adnan begitu terbius terhadap tokoh utama film itu. Dia merasakan tokoh itu sebagai dirinya. Perlahan – lahan film itu mampu menumbuhkan benih – benih semangat perjuangan untuk mengubah nasibnya, keluar dari kemiskinan yang tak pernah berhenti mengalir di dalam darah keluarganya. Dan film itu pulalah yang kemudian menjadi amunisi utama bagi Adnan kecil untuk terus bersekolah dan berprestasi.
Novel yang tokoh utamanya adalah pengarangnya sendiri ini juga menceritakan kecerdasan seorang Adnan yang selalu menjadi juara satu di kelasnya, dengan nilai rapor yang sempurna. Semenjak SD pun dia sudah mengenyam pendidikan pesantren, tidak pernah berhenti hingga pada akhir pendidikannya di tingkat perguruan tinggi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Perjuangan panjangnya berlanjut ketika dia memutuskan bersekolah di Madrasah ‘Aliyah Al Falah Kediri, dan Pondok Pesantren Darul Falah Kediri. Sepertinya penderitaan tak hendak menjauh dari Adnan. Di Kediri pun dia masih harus bekerja keras demi memasukkan sesuap nasi pengganjal perut, dan juga untuk membayar sekolahnya yang sudah menunggak beberapa bulan. Maka bekerjalah dia menjadi cutat, istilah untuk orang yang bekerja menaikkan pasir ke dalam truk di lokasi penambangan pasir. Bahkan, akibat kelelahan sekolah dan bekerja, Adnan pernah batuk darah.
Setelah dinyatakan lulus, Adnan bertekad untuk kuliah. Walaupun sadar tidak memiliki biaya, dia yakin Allah akan menolongnya. Allah akan merestui tekad besarnya untuk menjadi orang sukses demi menaikkan derajat keluarganya. Dengan perjuangan yang lagi – lagi dipenuhi penderitaan, pada akhirnya dia berhasil kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Untuk membiayai kuliahnya, dia bekerja sebagai pelukis kaligrafi di Pasar Sekaten dan acara – acara pengajian akbar di sekitar Yogya. Bahkan bekerja pula sebagai penjaga masjid di sebuah kompleks Angkatan Udara. Di Yogya Adnan juga sempat sakit malaria yang hampir merenggut nyawanya. Dia lalu memohon kepada Allah, “Kalaupun Engkau tetap akan mengambil nyawaku, kumohon jangan di sini. Aku ingin mati dalam dekapan hangat ibu.” (halaman 285)
Seiring perjalanan waktu, walaupun hanya mendapat sedikit uang, dia masih mampu membantu adiknya, Sugeng, yang menyusul ke Yogya untuk melanjutkan sekolah pula. Jadilah kedua kakak - beradik ini berjuang demi mewujudkan tekad mengubah nasib. Hingga pada akhirnya Adnan dinyatakan lulus menjadi seorang sarjana, dan Sugeng berhasil menjadi anggota Bintara TNI. Sebuah adegan mengharukan dituliskan pada akhir paragraf novel ini :
….. setelah menerima foto itu, bapak berkeliling kampung sambil sesenggukan, tubuh bergetar dan pipi yang basah oleh air mata. Setiap orang yang ditemuinya disodori foto itu, lalu dengan terbata – bata bapak berkata, “Lihat, mereka ini anakku…., mereka anakku….”.
Kekuatan novel ini terletak pada adegan – adegan keharuan dan perjuangan hidup yang membuat nafas seolah – olah berhenti. Contohnya ketika tiga ayam kesayangan Adnan yang diamanatkan ayahnya untuk dipelihara, dipotong oleh pamannya tanpa permisi :
Di lubang sampah itu berserak seonggok bulu ayam yang masih basah. Corak warna bulu itu mengingatkan aku pada tiga makhluk sahabatku yang tadi tidak muncul ketika kupanggil. Semakin kuamati, aku semakin yakin kalau bulu itu adalah bulu yang dicabut dari ayam kesayanganku. Seketika itu air mataku mengalir deras. Tetapi suara tangisku tertahan di tenggorokan selaksa gumpalan sekam menyumbat nafasku.
Contoh lainnya ketika Adnan membayarkan utang orang tuanya dengan uang hasil jerih payahnya bekerja menjadi buruh tanam padi :
“Begini saja, aku punya uang, jadi biar aku yang bayar”, kataku.
“Nan, uang itu kan buat ongkos kau ke pesantren”, kata ibu sembari terisak.
“Nggak apa – apa bu, sisanya juga masih cuikup kok”.
“Terus nanti di sana kau makan apa ?”.
“Insya Allah ada bu”.
Menyaksikan semua itu bapak hanya tertunduk dengan mata berkaca- kaca.
Demikian pula ketika sekarung beras hasil panen yang diantar langsung oleh ayah Adnan jauh – jauh dari kampung, raib begitu saja dicuri orang. Padahal sang ayah rela tidak makan seharian karena kehabisan uang untuk ongkos kendaraan umum :
Aku penasaran, kuangkat dan…. karung itu benar – benar telah kosong. Badanku lunglai, seakan tulang belulangku tak mampu lagi menopangnya. Hasil jerih payah bapak dan ibu yang dengan susah payah diantar kepadaku, sekarang raib tak bersisa. Sampai kapanpun aku tidak rela, cucuran peluh bapak dan ibu untuk mempersembahkan semua itu padaku yang tak mungkin bisa kulupakan. Aku tertunduk lemas di sudut gubuk. Air bening sekali lagi mengalir di pipiku.
Meskipun secara keseluruhan novel ini sangat bagus, inspiratif dan menyentuh perasaan, namun ada beberapa hal yang sedikit mengusik kenyamanan membacanya. Di awal – awal cerita tidak digambarkan secara detail latar lokasi serta keterangan waktu kejadian. Hal itu membuat pembaca bertanya – tanya : tahun berapa tepatnya Adnan lahir. Di kabupaten atau kecamatan mana tepatnya dia tinggal. Tahun berapa Adnan meninggalkan kampungnya untuk melanjutkan sekolah ke Kediri. Kapan tepatnya dia kuliah di Yogya dengan uang SPP per semester cuma Rp. 150.000.
Adnan Katino telah berhasil membuat pembaca penasaran. Karena pembaca masih ingin mengetahui apa yang terjadi selanjutnya setelah dia lulus dari perguruan tinggi. Masih banyak cerita keharuan dan perjuangan hidup yang bisa dieksplorasi dan diperbanyak lagi. Jika Laskar Pelangi berhasil menarik perhatian produser untuk menggarap filmnya, maka Menggapai Matahari pun layak mendapatkan kesempatan yang sama.
Sangat direkomendasikan bagi para– pelajar untuk membaca novel ini. Mereka yang memiliki cita – cita tinggi dan tekad yang kuat, namun terhambat oleh kondisi kekurangan dan kemiskinan. Ketika memiliki sebuah harapan pasti selalu ada jalan untuk meraihnya, dengan tidak lupa untuk selalu beribadah dan berdoa, berusaha, bersabar dan berserah diri pada Allah SWT.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
siapa bilang orang miskin gak bisa sukses?...
BalasHapusbegitu aku lihat covernya... jadi ingat. aku baca novel itu pinjam temen.. walau udah pada ngantre tak paksain semaleman selsai. gak sia-sia. ternyata aku merasa disuntik semangat untuk nyelesain kuliahku yang udah berbulan2 terabaikan.
BalasHapusthanks Bang Adnan
silvy thanx komennya, tak doain cepet lulus ya
BalasHapusaduuuh aq nunggu cerita lanjutanya...
BalasHapusbuku ke dua kapan keluar????