MARI BERHARAP PADA TELESKOP RUKYAT 2.0



Dimuat di harian Suara Merdeka, 6 September 2010

BUKAN hal baru ketika umat muslim di Indonesia sering bingung dengan perbedaan penetapan waktu masuk Ramadan dan Syawal. Perbedaan itu terjadi karena dalam penentuan awal bulan Islam (Hijriah), pemerintah menggunakan metode rukyat. Adapun organisasi kemasyarakatan Islam tertentu menggunakan metode hisab. Keduanya sama-sama bertujuan melihat hilal.

Hilal adalah penampakan bulan paling awal yang terlihat menghadap ke bumi, setelah bulan mengalami konjungsi. Bulan awal (sabit) itu akan tampak di ufuk barat ketika matahari terbenam. Konjungsi adalah peristiwa saat jarak sudut (elongasi) suatu benda dan benda lain nol derajat. Hilal merupakan kriteria awal bulan. Dalam kalender Hijriah, penentuan awal bulan tergantung pada penampakan hilal atau bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriah bisa berumur 29 atau 30 hari.

Rukyat berarti mengamati hilal, mengamati bentuk bulan sabit yang kali pertama tampak setelah terjadi konjungsi. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan saat menjelang kali pertama matahari terbenam setelah konjungsi. Pada waktu itu, posisi bulan berada di ufuk barat, dan bulan terbenam sesaat setelah matahari matahari. Bila hilal terlihat, pada petang waktu setempat telah masuk tanggal 1.

Hisab berarti perhitungan. Dalam Islam, istilah hisab sering digunakan sebagai metode perhitungan matematis astronomi untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Penentuan posisi matahari menjadi penting karena umat Islam menggunakan posisi matahari sebagai patokan waktu shalat. Adapun penentuan posisi bulan adalah untuk mengetahui terjadi hilal sebagai penanda masuk periode bulan baru dalam kalender Hijriah. Itu penting untuk menentukan awal Ramadan, Syawal, Zulhijjah, dan Muharram.
Teleskop Rukyat 2.0 Perbedaan yang terjadi selama ini karena organisasi kemasyarakatan tertentu menggunakan metode hisab dan tak merasa perlu melihat hilal. Sementara itu, pemerintah ingin lebih memastikan dengan cara melihat hilal lebih dahulu (metode rukyat). Persoalannya, terkadang hilal tak terlihat ketika cuaca mendung, bahkan hujan. Dan, metode hisab mampu mengeliminasi parameter alam itu dan meyakinkan diri dengan perhitungan matematis yang mereka lakukan.

Merespons hal itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memberikan solusi sebagai upaya meminimalisasi disharmoni di masyarakat, yang mungkin terjadi akibat perbedaan tersebut. Mereka merancang Teleskop Rukyat versi 2.0 yang jauh berbeda dari versi 1.0 yang dibuat tahun 1994. Versi baru itu dilengkapi radar, sehingga dapat digunakan untuk melihat hilal dengan tingkat akurasi antara 90% dan 95%, walaupun cuaca buruk.

Teleskop versi 2.0 bekerja dengan sistem deteksi gelombang radar atau gelombang elektromagnetik yang ditembakkan ke bulan, dan pantulannya diterima kembali oleh unit penerima gelombang di bumi, yang berjarak 400.000 kilometer, atau hampir 1 juta kilometer bolak-balik. Kemudian, hasil deteksi radar diolah dengan sistem image processing menjadi bentuk visual yang bisa dilihat. Hasil visual itulah kemudian yang disebarluaskan melalui satelit televisi, sehingga masyarakat bisa juga melihat hilal yang meliputi data ketinggian, posisi elongasi hilal, dan data lain.

Pemerintah menetapkan, syarat hilal terlihat adalah pada ketinggian 2 derajat. Syarat itu ditetapkan berdasar data pengamatan sebelumnya bahwa ketinggian hilal terendah yang berhasil diamati adalah 2 derajat. Teleskop baru itu bsa digunakan untuk melihat hilal di semua sudut di atas 0,5 derajat, jika radar ditempatkan di ketinggian sekitar 300 meter di atas horizon pandangan untuk memperoleh dip of horizon sebesar 0,5 derajat. Radar juga dapat digunakan untuk melihat hilal, meski langit masih berwarna kemerahan.

Tahun 2009, Badan Hisab Rukyat Nasional (BHRN) melalui Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat menyatakan hasil rukyat dengan teleskop itu tidak bisa dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriah, karena citra yang dihasilkan hanya citra lingkaran bulan, bukan citra hilal. Pada dasarnya BHRN menyambut baik teknologi itu, tetapi masih perlu beberapa penyempurnaan agar memperoleh hasil dan informasi yang memenuhi syarat.

Namun hingga kini belum ada kabar perkembangan terbaru dari pemerintah dan LIPI mengenai kelanjutan rancangan itu. Sebagai umat, tentu kita berharap teknologi teleskop itu segera dikembangkan dan disempurnakan agar bisa segera diterapkan sehingga tak perlu lagi ada perbedaan berlarut-larut. Dan, kehidupan bangsa yang lebih harmonis pun bisa terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar